Jan 9, 2013
Dec 27, 2012
Ku lihat, ada figura berbahan dasar kayu..
Pagi menggerutu. Saat awan menjadi abu- abu. Tak ada biru, hanya kelabu. –ah,
cuaca sepertinya sedang tidak menentu. Pun angin diluar rumah sana, serupa banteng
di arena pertandingan yang sudah siap untuk menyerbu.
***
ritual pagi :
Menyapu dan beberes supaya rumah sedikit rapi. Membersihkan sarang laba- laba
yang mengusik mata disudut tembok sana sini. Di dapur, ada segunung piring yang
harus ku cuci dengan hati- hati. Rutinitas babi! Ya, mau bagaimana lagi.
Dimulai dari mengelap dan menyapu. Tanganku sangat lincah mengelap ribuan debu
yang hinggap di setiap jengkal perabot rumah. Satu persatu perabot lalu
kubersihkan. Dari vas bunga hingga lukisan kuno yang terpajang di dinding.
Keringat seukuran biji jagung mulai menetes dari dahi menuju lekukan leherku.
Hey! Kornea mataku melihat benda persegi panjang ukuran 20 x 40 diatas televise.
Ada figura berbahan dasar kayu. Warna tepi nya kecoklatan. Antik sangat apik.
Dan didalam figura itu, terlihat sepasang manusia berbaju pengantin. Serba
putih disertai dengan kilapnya mute bling bling menjadikanya sangat anggun.
Senyum keduanya mengembang. pertanda terdapat uforia bahagia disana. ah! Tiba-
tiba mataku nanar. Panas.
Kemudian ku ambil figura itu. Ku genggam lalu jemariku mengusap- usap gambar
lelaki itu. Pikiranku melayang ke peristiwa delapan tahun lalu. Saat aku
bercumbu. Dengan pengantin lelaki yang ada didalam figura itu. Saat ia masih
menjadi lelakiku. Dulu, iya dulu. “hahahaha” tawaku. Ada semacam jeda yang
membawaku pada lorong waktu. Masa lalu.
***
Malam yang ganjil.
Tok tok.
“eh, mas pyatit. masuk”
Adalah Prayitno Panji Pangestu. Pria yang pernah kucintai dulu. Perawakanya
tinggi menjulang seperti tiang yang gagah saat bendera dinaikan. Gagah sekali.
Mata coklatnya membuat nafsu memuncak bagi sesiapa yang memandangnya. Alis
tebal terbentuk seirama dengan pembawaanya yang bijaksana. kulitnya putih,
bersih. Lesung pipitnya membuat serentetan semut penggotong butir gula mengiri
padanya.
“sendirian? Yang lain mana?”
mas Prayit basa basi. Padahal dia sudah mengetahui bahwa rumah ini sedang sepi.
Bapak, Ibu dan Kakak sedang berkunjung ke rumah mbah putri di Jogja. Hanya ada
aku, disini.
“iya sepi. Semua pergi. Gimana di kantor hari ini mas?”
“jangan bahas kantor ah, pusing!”
Hatiku selalu jatuh berhamburan pada pria pria kantoran berkacamata. Juga mas
prayit. Bercelana pensil dan berkemeja necis. Jam merek Swiss Army yang
melingkar di tangan kirinya membuat ubun- ubun ku nyaris lepas. Pria sempurna
yang pantas bersanding dengan kecerdasanku.
“its oke. Mungkin lelah sedang menggelayut di punggungmu. Akan kubuatkan
secangkir kopi robusta untukmu, tunggu”.
“hai cantik, bolehkah aku meminjam hangat lidahmu? Sedikit saja. Sekedar
mencairkan beku otakku”
Aku tercekat. Tiba- tiba tubuh mas Prayit sudah persis dihadapanku. Dadaku
berdesir. Napasku naik- turun tak beraturan. Bisa kurasakan aroma wangi udara
masuk dan keluar seperti tercekik di tenggorokan. Aku nervous, grogi, ragu-
ragu, takut, deg- degan. Arrrrghh, siaal !!
Malam itu segalanya menjadi romantis. Semerbak wangi parfum menyelimuti
tubuhnya yang atletis. Kecupan hangat mendarat dibibirku, pelan. Dia meremas
rambut panjangku dari atas ke bawah. Setengah menjambak. Aku memeluknya seakan
tak mau lepas lagi. Kami berdua lalu mengabiskan malam, ditemani temaram sinar
bulan purnama. Rasanya malam itu aku berada dilangit ketujuh.
***
Yayaya, rosaria waktu telah tiba. Selama delapan tahun aku berusaha
menghilangkan kenangan keparat itu, sendiri. Berat memang, tapi harus. Kini mas
Prayit sudah bahagia bersama dengan wanita lain yang mencintainya, barangkali.
Foto difigura kayu itu adalah bukti bahwa mas Prayit memang benar- benar
mencintainya. sama sekali bukan aku!
Mataku tetiba sembab. Kaca figura sedikit basah karena manik manik keluar dari
mata sedari tadi. Hatiku goyah. Ada sesal yang kemudian hadir dan hinggap di
otakku. Ingin kembali ke masa lalu, namun mustahil.
Sudahlah! Mungkin kini, saatnya aku untuk mengalah. Saatnya untuk berbenah.
Bukan kalah, hanya pasrah.
Lalu? aku letakkan kembali figura diatas televise. figura berbahan dasar kayu.
Warna tepi nya kecoklatan. Antik sangat apik. Dan didalam figura itu, terlihat
sepasang manusia berbaju pengantin. Serba putih disertai dengan kilapnya mute
bling bling menjadikanya sangat anggun. Dibawahnya, tertulis :
“marriage settlement Prayitno Panji
Pangestu and Lintang Prastiwi 2 Februari 2002”
Tiba- tiba ada suara kecil yang kemudian mengagetkanku dalam hening. olala.
Jantungku berkdekup kencang. Kepalaku mendongak. aku diam, tertahan.
“tante! Kenapa tante menangis? Tante kenapa saat melihat figura foto Ayah sama Bunda? Tante
kenapa?” rengek Jasmine keponakanku berumur 6 tahun, sambil menggelayut di
unjung piyamaku.
Jasmine Almira Honesta. Keponakan
pertamaku. Cantik sekali. Cantik, secantik Bunda nya, Lintang Prastiwi. Bunda
Jasmine sekaligus Kakak kandungku.
***
@titonas
Tegal- RS Mitra Harapan Anda
(Alamanda VII)
5 February 2012
Nov 27, 2012
Tubuh Perempuan dalam Tayangan
Oleh: Laras Maharani
Baru setengah abad sejak kemunculan ilmu komunikasi sebagai bidang studi, praktek dalam bidang industri media telah berkembang dengan demikian pesat. Tak ada dari diri kita yang setiap harinya tidak berjumpa dengan media komunikasi. Sebut saja misalnya, surat kabar, majalah, radio, televisi, internet, atau penggunaan alat telekomunikasi seperti telepon, telepon seluler, dan atau penggunaan situs jejaring sosial seperti facebook, twitter, dan lainnya yang sejenis.
Di antara media komunikasi lainnya di Indonesia, televisi memiliki posisi yang berbeda. Keunggulan pada kandungan gambar gerak dan suara sekaligus memposisikan televisi, setidaknya hingga hari ini, sebagai pemangku peran penting dalam penyebaran arus informasi kepada khalayak. Dengan pengemasan tayangan yang menyasar segala kalangan, baik tua, muda, pria, wanita, anak-anak, menjadikan televisi sebagai media yang paling strategis dalam menyerap penonton.
Sejarah industri televisi Indonesia dimulai tahun 1962 ketika TVRI untuk pertama kalinya menyiarkan upacara kemerdekaan Indonesia ke-17 dari istana negara. Selang 27 tahun kemudian hadir RCTI (1989) yang menjadi siaran televisi swasta pertama. Jika jarak waktu yang dibutuhkan RCTI untuk lahir hampir tiga dekade, tidak bagi siaran televisi swasta yang muncul kemudian, seperti TPI (1991) yang kemudian berganti menjadi MNCTV, SCTV dan ANTV (1993), serta Indosiar (1995).
Pertumbuhan industri televisi semakin semarak paska pemerintahan Soeharto. Tidak terbatas pada televisi nasional seperti MetroTV (2000), TransTV (2001), GlobalTV dan TVOne (keduanya pada tahun 2002), siaran televisi daerah juga tumbuh subur, seperti di wilayah Jakarta (Jak-TV, O-Chanel dan Space-Toon), di Bandung (BandungTV, S-TV, Padjajaran TV, CT Chanel), Yogyakarta (JogjaTV, RBTV, dan AdiTV), Semarang (ProTV dan BorobudurTV), hingga Denpasar (BaliTV). Arus informasi pun turut mengalir deras, seakan seperti banjir ketika mengguyur seluruh Indonesia. Tak pelak, komunikasi, dan informasi, sebagai salah satu isinya telah menjadi suatu industri, telah menjadi suatu tumpuan hidup bagi banyak orang.
Berbicara televisi, pasti juga berbicara mengenai pemilik modal atau siapa yang berada di belakang layar. Sudah pasti kepentingan utama pemilik modal untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya yaitu dengan mengembangkan produknya melalui media televisi. Pihak kapitalis menyodorkan ‘surga dunia’ kepada pemirsanya dengan menyajikan imaji yang bersifat keindahan, instan, kecantikan, dan lain sebagainya. Dan kaum perempuan merupakan salah satu korban media massa dengan menampilkan kebutuhan-kebutuhan apa saja yang dibutuhkan kaum perempuan melalui iklan. Bahkan televisi mampu meningkatkan kebingungan perempuan.
Baru setengah abad sejak kemunculan ilmu komunikasi sebagai bidang studi, praktek dalam bidang industri media telah berkembang dengan demikian pesat. Tak ada dari diri kita yang setiap harinya tidak berjumpa dengan media komunikasi. Sebut saja misalnya, surat kabar, majalah, radio, televisi, internet, atau penggunaan alat telekomunikasi seperti telepon, telepon seluler, dan atau penggunaan situs jejaring sosial seperti facebook, twitter, dan lainnya yang sejenis.
Di antara media komunikasi lainnya di Indonesia, televisi memiliki posisi yang berbeda. Keunggulan pada kandungan gambar gerak dan suara sekaligus memposisikan televisi, setidaknya hingga hari ini, sebagai pemangku peran penting dalam penyebaran arus informasi kepada khalayak. Dengan pengemasan tayangan yang menyasar segala kalangan, baik tua, muda, pria, wanita, anak-anak, menjadikan televisi sebagai media yang paling strategis dalam menyerap penonton.
Sejarah industri televisi Indonesia dimulai tahun 1962 ketika TVRI untuk pertama kalinya menyiarkan upacara kemerdekaan Indonesia ke-17 dari istana negara. Selang 27 tahun kemudian hadir RCTI (1989) yang menjadi siaran televisi swasta pertama. Jika jarak waktu yang dibutuhkan RCTI untuk lahir hampir tiga dekade, tidak bagi siaran televisi swasta yang muncul kemudian, seperti TPI (1991) yang kemudian berganti menjadi MNCTV, SCTV dan ANTV (1993), serta Indosiar (1995).
Pertumbuhan industri televisi semakin semarak paska pemerintahan Soeharto. Tidak terbatas pada televisi nasional seperti MetroTV (2000), TransTV (2001), GlobalTV dan TVOne (keduanya pada tahun 2002), siaran televisi daerah juga tumbuh subur, seperti di wilayah Jakarta (Jak-TV, O-Chanel dan Space-Toon), di Bandung (BandungTV, S-TV, Padjajaran TV, CT Chanel), Yogyakarta (JogjaTV, RBTV, dan AdiTV), Semarang (ProTV dan BorobudurTV), hingga Denpasar (BaliTV). Arus informasi pun turut mengalir deras, seakan seperti banjir ketika mengguyur seluruh Indonesia. Tak pelak, komunikasi, dan informasi, sebagai salah satu isinya telah menjadi suatu industri, telah menjadi suatu tumpuan hidup bagi banyak orang.
Berbicara televisi, pasti juga berbicara mengenai pemilik modal atau siapa yang berada di belakang layar. Sudah pasti kepentingan utama pemilik modal untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya yaitu dengan mengembangkan produknya melalui media televisi. Pihak kapitalis menyodorkan ‘surga dunia’ kepada pemirsanya dengan menyajikan imaji yang bersifat keindahan, instan, kecantikan, dan lain sebagainya. Dan kaum perempuan merupakan salah satu korban media massa dengan menampilkan kebutuhan-kebutuhan apa saja yang dibutuhkan kaum perempuan melalui iklan. Bahkan televisi mampu meningkatkan kebingungan perempuan.
Nov 10, 2012
Negara Democrazy
Oleh : Lia Kusuma Astuti
Adakah diantara kita yang masih mengingat dengan baik bagaimana kabar kasus Lumpur Lapindo hari ini? Ya, nasib korban lumpur lapindo masih terkatung-katung hingga sekarang. Namun media massa lokal maupun nasional, masih menyelipkan sedikit kolom pemberitaan mengenai kabar terkini kasus Lumpur Lapindo. Setidaknya masih terdapat perhatian publik terhadap kasus ini.
Tragedi yang bermula pada tanggal 29 Mei 2006, tepat tiga hari pasca gempa yang mengguncang Yogyakarta, dianggap sebagai “bencana alam”. Status bencana nasional yang disandangkan pada kasus Lumpur Lapindo ini dikuatkan oleh putusan Sidang Pengadilan Surabaya: Tanggal 30 Maret 2010, No: 07/PRAPER/2010/PN.SBY, yang menolak gugatan Pra Peradilan atas putusan SP3 Polda Jatim, dengan konsekuensi hukum: SP3 tersebut menjadi kokoh atas putusan pengadilan tersebut, sehingga secara pidana, Lapindo Brantas, Inc., tidak bersalah. Padahal, menurut riset yang dilakukan oleh Walhi, semburan lumpur panas Lapindo disebabkan oleh kesalahan prosedur dalam proses pengeboran (human error).
Nov 8, 2012
Kelas Menulis #4
Oleh : Among Prakosa
Dua hari lagi, tepatnya di 10 November 2012, Komunitas Terang Ssore kembali menggiatkan workshop "Kelas Menulis" yang akan memasuki putaran ke empat. Apa yang baru di putaran kelas menulis kali ini?
Setelah di dua putaran pertama para peserta belajar menulis dengan menggunakan pendekatan deskriptif, dan di putaran ke tiga mendapatkan pengantar (sangat) singkat tentang Realisme Sosial dari Suluh Pamuji, maka di putaran ke empat ini peserta kelas menulis akan belajar tentang meraih realitas sebagai sumber rujukan maupun ide-ide tulisan.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut putaran kelas menulis kali ini akan ditemani dengan beberapa makalah pendamping untuk membantu peserta kelas menulis memahami prinsip-prinsip pengetahuan dan bagaimana metode untuk memperolehnya.
Setelah di dua putaran pertama para peserta belajar menulis dengan menggunakan pendekatan deskriptif, dan di putaran ke tiga mendapatkan pengantar (sangat) singkat tentang Realisme Sosial dari Suluh Pamuji, maka di putaran ke empat ini peserta kelas menulis akan belajar tentang meraih realitas sebagai sumber rujukan maupun ide-ide tulisan.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut putaran kelas menulis kali ini akan ditemani dengan beberapa makalah pendamping untuk membantu peserta kelas menulis memahami prinsip-prinsip pengetahuan dan bagaimana metode untuk memperolehnya.
Subscribe to:
Posts (Atom)