Jan 16, 2012

MEMBACA PERLAWANAN KONTRA- HEGEMONIK LEWAT FILM “GANDHI”


Oleh : Among Prakosa

Tubuhnya kecil, tampak kurus di dalam setelan kemeja, rompi, dan pantalon gaya eropa. Kulitnya coklat, cenderung gelap. Mengenakan kacamata berbingkai bulat, seperti milik John Lennon, ia menunjukkan ketertarikan besar pada buku di tangannya sampai merasa perlu menanyakan pendapat petugas gerbong yang sedang menata bagasi di kabin yang ia tempati.

Belum lagi pertanyaannya tentang neraka –yang bertentangan dengan ajaran Hindu yang ia yakini–  dijawab oleh petugas gerbong, menerobos masuk kondektur kereta, menanyakan tiket lalu memaksanya untuk pindah ke gerbong kelas tiga. Ia menolak.  Tentu saja ia menolak, tiketnya tiket kelas satu, dan ia tidak salah masuk ke kabin.

Sebagai warga negara British Empire, dan seorang pengacara, ia memahami betul hukum milik Kerajaan Inggris, termasuk haknya sebagai warga negara Inggris yang dijamin oleh hukum. Sayangnya, ini adalah perjalanan pertamanya ke Afrika Selatan, koloni Inggris, tempat politik apartheid berlangsung. Hukum Inggris di Britania tidak berlaku di sini. Singkat cerita, setelah berdebat dan bersikeras untuk tetap berada di kabin kelas satu, dan hak yang mestinya ia terima sebagai warga negara Inggris, si kecil ini dilempar keluar di stasiun perhentian berikut. Kesalahannya, hukum apartheid melarang, tanpa kecuali, seorang kulit berwarna menggunakan fasilitas yang sama dengan kulit putih.

***

Si pengacara kecil itu tak lain Mohandas K. Gandhi, tokoh utama di film ‘Gandhi’. Film yang bercerita tentang perjuangan Bapu, atau Mahatma, dan upayanya dalam mempertahankan keyakinan bahwa “Kita semua adalah anak-anak Tuhan.”

Kendati film “Gandhi” menarasikan hampir keseluruhan kisah perjuangan Gandhi kepercayaannya pada kemenangan cinta dan kebenaran, namun tulisan ini sebatas upaya ‘pembacaan’ praktek-praktek perlawanan Gandhi terhadap kekuasaan. Dengan demikian tulisan ini tidak lagi mengenai film “Gandhi” an sic, melainkan berisi penafsiran saya atas perlawanan Mohandas K. Gandhi pada kekuasaan Kerajaan Inggris yang tampil dalam film “Gandhi”.

Dengan menggunakan pemikiran Gramsci tentang kekuasaan dan hegemoni sebagai alat baca, tulisan ini saya ajukan sebagai upaya untuk memunculkan kembali wacana tentang kekuasaan berikut perlawanan yang mungkin dilakukan saat menghadapi kekerasan yang dilakukan penguasa, atau istilah yang saya gunakan kekerasan-kekuasaan.

Kekuasaan, Hegemonik, dan Kekerasan Legal Oleh Negara


Kekuasaan, menurut Antonio Gramsci, didasarkan pada (baca; lahir dari) konsensus yang diciptakan atau diajarkan dalam negara[1], dan sistem kekuasaan yang didasarkan pada konsensus seperti ini disebut Gramsci sebagai “hegemonik”.  Untuk mempertahankan dirinya, kekuasaan hegemonik akan menggabungkan kekuatan (dengan metode kekerasan atau paksaan) dan kesepakatan (persetujuan masyarakat atau konsensus), tergantung pada situasi, hingga . . . melahirkan warga negara yang melalui pendisiplinan-diri lantas menyesuaikan dirinya dengan norma-norma yang telah disediakan negara[2].”

Konsep hegemonik a’la Gramsci juga melihat negara, organisasi, dan lembaga-lembaga sosial lainnya seperti sekolah, partai politik, lembaga keagamaan, media massa, dan serikat dagang atau profesi, merupakan alat bagi suatu kelas untuk menjalankan kekuasaan, atau dengan kata lain mempertahankan hegemoni, terhadap kelas-kelas di bawahnya. Dan diantara semua lembaga itu hanya negara yang menguasai monopoli atas kekerasan[3]. Atau dengan kata lain, hanya negara yang memiliki legalitas untuk melakukan kekerasan.

Untuk melanggengkan kekuasaan hegemoniknya, kelas penguasa menyuntikkan norma-norma tertentu melalui lembaga negara, mengontrolnya melalui lembaga negara dan lembaga sosial, agar terbentuk konsepsi tertentu pada mayoritas warganegara, mendukung kekuasaan kelas hegemonik. Gramsci menyebut  aktor yang melakukan praktik pengorganisasian norma-norma tersebut sebagai “intelektual-hegemonik”, yang bertugas memastikan bahwa pandangan dunia (konsepsi) yang sesuai dengan kepentingan kelas-hegemonik telah diterima oleh semua kelas (warganegara)[4].

Karena penyusunan konsepsi-konsepsi ini terjadi di level idiologi[5] maka, untuk merontokkan konsepsi-konsepsi pada kelas-terhegemoni, harus dilakukan secara terus-menerus proses reorganisir pandangan dunia yang bertujuan untuk memisahkan kelas-terhegemoni dari norma-norma yang diorganisir oleh kelas-hegemonik. Oleh Gramsci pelaku yang mereorganisisr pandangan dunia disebut “intelektual-kontra-hegemonik”[6].

Di film  “Gandhi” setidaknya ada dua norma negara yang berusaha dipertahankan penguasa yaitu; perbedaan status sosial berdasarkan warna kulit dan ras (India berbeda derajadnya dengan kulit putih Anglo-Saxon); dan, bangsa yang dikolonisasi (India) tidak mungkin bisa menjalankan negara dengan damai jika dibiarkan sendiri tanpa pengawasan bangsa yang mengkolonisasi (barat, kulit putih, Anglo-Saxon, Kerajaan Inggris). Keduanya menyimpulkan hal yang satu; superioritas bangsa kulit putih atas kulit berwarna.

Sepanjang film kita akan melihat bagaimana Bapu, sapaan yang digunakan Nehru untuk Gandhi, terus berhadap-hadap dengan kekerasan-kekuasaan, sejak dari Afrika Selatan hingga ia pulang ke India, tanah yang mula-mula asing baginya.

Sewaktu Gandhi melakukan aksi terbuka di Afrika Selatan ia dihentikan, dengan dicambuk, oleh polisi, disidang, lalu dipenjara. Perlakuan yang sama juga diterima Gandhi di India. Saat baru tiba di sebuah desa Gandhi dipaksa oleh polisi agar kembali ke kereta, dan meneruskan perjalanan, atau ia akan ditangkap dengan tuduhan mencari keributan. Meskipun –dengan menentang argumen polisi soal keributan–  Gandhi bisa mengunjungi penduduk desa dan mendengarkan langsung penuturan seorang petani renta tentang kesengsaraan petani akibat produk tekstil impor, Gandhi akhirnya ditangkap, seperti janji kepala polisi yang menghadangnya di stasiun, dan dihadapkan ke persidangan.

Hakim, polisi, tentara, cambuk, senjata api, pengadilan dan penjara yang berulang kali muncul dalam film “Gandhi” adalah bentuk kekerasan kelas penguasa melalui lembaga negara yang digunakan untuk menjaga kekuasaan hegemonik mereka[7]. Kekerasan ini digunakan setelah norma-norma yang disediakan mulai goyah dan diragukan atau ditolak oleh warga negara, atau sudah kehilangan konsensus masyarakat.

Lalu, bagaimana Gandhi melakukan perlawanan?

Ketika keyakinan Gandhi bahwa “Kita semua adalah anak-anak Tuhan” berhadapan dengan politik apartheid di Afrika Selatan, yang mengklasifikasi manusia berdasarkan warna kulit dan menempatkan bangsa kulit putih di puncak klasifikasi, bentuk perlawanan yang Gandhi lakukan adalah dengan berbicara, di depan komunitas India di Afrika Selatan, tentang hak bangsa India sebagai bagian dari Kerajaan Inggris dan pelecehan penguasa kolonial terhadap hak-hak dan kehormatan bangsa India. Gandhi mengajak, seperti yang ia tulis di pidatonya, agar setiap orang India, apakah ia seorang Hindu atau Muslim atau Sikh, bersama-sama menerangi langit dan pikirang orang-orang Inggris yang gelap.

Secara demonstratif Gandhi bahkan membakar, di muka umum,  lembar kartu yang harus selalu dibawa-bawa oleh tiap orang India ketika hendak keluar rumah. Bagi Gandhi aturan kartu jalan ini merupakan bentuk ketidakadilan sebab tak seorang pun orang kulit putih yang harus melakukan hal yang sama, dan merupakan simbol dari perbedaan status di hadapan hukum negara[8].

Metode perlawanan Gandhi di Afrika Selatan berkembang menjadi jauh lebih rumit, sekaligus cerdik (subtle), ketika ia pulang ke India tahun 1915. Saat turun dari kapal yang ditumpanginya dari Afrika Selatan, Gandhi sudah mengenakan pakaian tradisional India, bukan lagi setelan Eropa seperti yang ia kenakan di Afrika Selatan. Ia, katanya pada seorang jurnalis, berpakaian seperti saudara-saudaranya, sesama orang India, yang ia temui saat dipenjara di Afrika Selatan.


Seterusnya Gandhi selalu berusaha untuk hidup seperti petani India, bertani, memelihara ternak, menanam dan mengolah makanan sendiri, memintal kapas, dan menenun kain untuk bajunya –yang karena keinginan yang kuat untuk hidup seperti “saudaranya” pakaian Gandhi hanya tinggal kain yang membalut tubuh bagian bawah sampai ke lutut, selembar kain yang kerap bertukar fungsi dari selempang menjadi selimut, sandal jepit, dan sebatang tongkat. Praktek-praktek ini terutama ia lakukan di komuni yang ia bangun, yang disebutnya ashram, sebagai upaya darinya untuk mengalami sendiri bagaimana para petani menjalani hidup, dan kesengsaraan, akibat kekuasaan kolonialis Inggris[9].

Dilihat dari pilihan-pilihan tindakannya, apa yang dilakukan Gandhi adalah pilihan seorang intelektual-kontra-hegemonik, dan perlawanannya adalah kontra-hegemonik. Dengan membakar lembar catatan sipil di muka umum, membuang setelan Eropa lalu menggantinya dengan baju tradisional India[10], menjadi petani dan memenuhi kebutuhan sandang dan pangannya sendiri, tindakan Gandhi menyuarakan gugatan pada norma-norma yang ditetapkan oleh pemerintah kolonial. Tak hanya menggugat, Gandhi bertindak lebih jauh dengan menampilkan kembali (reorganisir) norma dan tata hidup masyarakat India dan, berbalik, membenturkannya dengan norma-norma pemerintah kolonial yang ia gugat.

Salah satu perlawanan simbolik terbesar yang dibangun Gandhi adalah dengan berjalan sejauh 240 mil ke arah pantai untuk menambang garam. Aksinya ini diikuti oleh masyarakat India. Beramai-ramai mereka berjalan kaki (marching). Jumlah mereka yang ribuan sampai menutupi pesisir pantai. Apa yang hendak di lawan Gandhi dengan menambang garam? Yang ia lawan adalah monopoli pemerintah atas produksi dan penjualan garam. Gandhi berkata “Garam ini berasal dari laut India, biarkan setiap orang India mengambil apa yang menjadi haknya.”

Sejak dari Afrika Selatan Gandhi bahkan menyerukan agar, setiap orang yang lahir dari bumi India, baik itu Hindu, Muslim, Sikh, Yahudi, Kristen atau Persian untuk bersatu dan melawan ketidakadilan yang mereka terima.

Ketika berhadapan dengan kekerasan-kekuasaan Gandhi tidak melawan secara fisik, Dipilihnya sikap pasif sebagai penyangkalan terhadap kekuasaan. Penganiayaan dan kurungan badan ia terima, namun bukan karena takut, melainkan sebagai pembuktian bahwa kekerasan yang dilakukan oleh lembaga negara tak lebih dari kekejaman negara, bukan keadilan. “You have to make injustice visible,” kata Gandhi.

Dalam sebuah dialog dengan hakim di persidangan Gandhi menolak untuk mamatuhi perintah agar ia meninggalkan provinsi yang ia kunjungi, Ia juga menolak membayar denda 100 Rupee sebagai pengganti hukuman kurung. Namun ketika hakim mengancamnya dengan hukuman penjara Gandhi hanya berkata “As you wish,” jika itu keinginanmu.

Dengan menggunakan bahasa perlawanan kultural, dan penyangkalan terhadap kekuasaan Inggris atas bangsa India, Gandhi[11] berhasil mempengaruhi (dan menata ulang) level idiologi (kesadaran bersama) masyarakat India yang sudah terhegemoni oleh pemerintah kolonial. Akhirnya setelah kesadaran mereka terpisah dari norma-norma yang ditetapkan pemerintah kolonial, masyarakat, melalui aksi-aksi massa, bangkit dan melakukan gugatan pada legitimasi Kerajaan Inggris atas bangsa India, dan menuntut pemerintahan sendiri (home rule) yang terlepas dari Inggris.

***
Sosok Mohandas K. Gandhi adalah sosok universal yang selalu dibutuhkan dalam gerak sejarah, apa yang ia lakukan sanggup menginspirasi lingkungannya untuk bergerak memperjuangkan keadilan. Di Indonesia, di mana ketidakadilan dan kekerasan lembaga negara berlangsung setiap hari mulai dari pasar tradisional sampai ke ruang sidang, dan kapitalisme membuat kita saling berkompetisi untuk menimbun kekayaan dan melupakan orang lain, bukan hanya sosok Gandhi yang kita butuhkan. Kita membutuhkan lebih dari itu. Kita butuh untuk memahami kembali keyakinan universal Gandhi, bahwa “Kita semua adalah anak-anak Tuhan”. Kita butuh untuk bertanya kepada siapa negara Indonesia kini diabdikan? Untuk siapa para polisi dan tentara mengarahkan senjatanya ke arah warga sipil? Untuk apa sidang-sidang dengan para ahli hukum berbaju panjang digelar? Kita butuh untuk terus melakukan perlawanan rakyat seperti gerakan koin untuk Prita, dukungan sandal jepit untuk AAL, dan mulai mengalihkannya pada isu-isu lokal di lingkungan hidup kita. Semua itu bukan untuk menghapus negara namun untuk mengembalikannya pada cita-cita ketika negara ini didirikan; Melindungi segenap tanah dan tumpah darah Indonesia.

Negara demokrasi adalah negara dimana rakyat lah (demos) yang mengambil keputusan. Demokrasi tidak sebatas suara yang diberikan rakyat saat pemilu, namun kontrol penuh rakyat atas negara, sebab negara adalah rakyat itu sendiri. VOX POPULI VOX DEI, suara rakyat adalah suara Tuhan. Dan kita bisa membuktikannya dengan melakukan apa yang dikatakan Gandhi pada Walker, Jurnalis New York Times,

“The function of a civil resister is to provoke response. And we will continue to provoke until they response or they change the law. They are not in control. We are. That is the strength of civil resistance.”


[1] Alastair Davidson, dlm. Teori-Teori Sosial,Peter Beilharz (Ed.), hal 203. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Juli 2005.

[2] Ibid. Tambahan bercetak miring oleh penulis.

[3] Roger Simon, Gagasan-Gagasan Politik Gramsci, hal 28. Pustaka Pelajar & Insist Press, Yogyakarta, Juni 2004 (Cet. IV). Cetak miring oleh penulis.

[4] Alastair Davidson, hal. 206

[5] Georg Lukacs memandang Idiologi sebagai kesadaran kelas dalam arti sekumpulan pengetahuan yang dipercayai oleh suatu kelas sosial (dlm. Bagus Takwin: Akar-akar Idiologi, hal 81. Jalasutra). Sedang idiologi yang dominan disebut Antonio Gramsci sebagai hegemoni.

[6] Alastair Davidson, Ibid.

[7] Kekuasaan hegemonik itu pun mula-mula dibangun dengan kekerasan (penaklukan)

[8] Dokumen catatan sipil ini lebih-kurang bersifat sama seperti potongan bintang Daud berwarna kuning yang dijahit pada baju orang Yahudi di wilayah kekuasaan Nazi, atau cap “eks tapol” pada KTP yang diterima para bekas tahanan politik era Orde Baru. Sebuah penanda “cacat sosial” yang diberikan negara untuk bangsa/kelas/kelompok tertentu.

 [9] Gandhi mengkritik orang India yang menginginkan kemerdekaan namun masih menjajah bangsanya sendiri melalui praktik perbudakan, perbudakan yang menimpa perempuan dan kaum paria. Dalam pidatonya, kritik Gandhi terutama dilayangkan pada orang-orang yang berbicara dengan mengatasnamakan masyarakat India namun cara hidupannya kontras dengan kehidupan masyarakat India pada umumnya.

[10] Sebelum pemerintah kolonial mengimpor baju dari Manchester dan Leeds masyarakat India menenun kain mereka sendiri. Kehadiran pakaian impor membuat orang India meninggalkan kebiasaan menenun dan beralih ke pakaian impor. Ini menyebabkan produk nila (Indigo) milik petani, yang digunakan masyarakat India mewarnai kain, tidak laku. Sementara nila tidak laku terjual dan tidak ada pendapatan bagi petani, para tuan tanah (landlord), yang adalah orang-orang Inggris, memaksa petani untuk membayar sewa tanah mereka dengan tunai. Untuk menutupi beban “kerugian” tuan tanah, polisi menyita harta petani yang tersisa, kebanyakan adalah tanah dan ternak, sebagai kompensasi. Dalam sebuah rapat besar Gandhi berkata “Tidak ada pakaian bagus jika itu menyebabkan kesengsaraan”, Ia meminta pada semua orang India agar membakar setiap produk tekstil buatan Inggris dan mengenakan apa yang tersisa, yang itu adalah hasil produksi sendiri (dalam negeri), dengan kebanggaan (dignity).

[11] Dengan tidak mengecilkan peran tokoh lainnya seperti Professor Gokhale, Pandit Nehru, Sardar Patel, dan Mohammed Ali Jinnah.

No comments:

Post a Comment