Jul 2, 2012

masa depan: sawah masih ada kah?

Oleh : Lia Kusuma Astuti

Realitas itu nggak ada di dalam ruangan. Keluarlah dan eksplorasi yang ada disekitarmu.
Suasana sore yang panas membuat aku tidak focus dengan tulisan ku yang belum ku kerjakan. Laras pun demikian, tapi tampaknya alasan yang sangat mengganggu konsentrasinya sore ini adalah karena dia ngantuk. Beberapa kali dia meminta ijin pada Mas Among untuk tiduran sejenak. Suasana makin tidak kondusif dengan kehadiran anggota komunitas lain yang membuat suasana gaduh disekitar kami. Kemudian Mas Among berinisiatif mengajak aku dan Laras untuk berkeliling sekitar. Berproses kreatif, katanya. Aku dan Laras segera mengikutinya. Tempat yang kami sepakati untuk dituju adalah sebuah areal persawahan yang terletak di belakang bangunan yang kami tempati sebagai taman baca.
Selama perjalanan yang kami lalui menuju areal persawahan itu, kami bertemu dengan tiga orang ibu-ibu yang sedang “ngemong” buah hatinya yang sudah dimandikan dan kelihatannya mereka juga menikmati sore yang cerah hari ini. Ada sungai kecil yang mengiringi jalan setapak yang kami lalui. Kemudian kami menuju sebuah gubuk kecil. Obrolan seputar kelas menulis dan komunitas ini terasa seperti rapat redaksi, kata Mas Among. Dia meminta kami, aku dan Laras untuk melihat realitas yang sedang terpampang di depan mata kami.


Sebuah areal persawahan. Berwarna hijau muda, sepertinya bibit-bibit padi itu baru saja ditanam. Karena beberapa petak sawah masih terlihat lengang. Belum banyak padi yang tumbuh disekitarnya. Dan lagi, kami sempat beberapa kali menginjak tanah gembur yang menandakan sawah tersebut belum lama dibajak. Pemandangan “hijau” itu tidak sendirian. Sebuah gunung yang terlihat berwarna kebiruan, Gunung Slamet namanya turut mewarnai pemandangan alam sore ini. Sungguh tenang disini. Berbeda dengan suasana yang kami jumpai di Kedai Telapak, tempat kami berkumpul untuk menulis.
Kami mendiskusikan banyak hal di gubuk pak tani. Ditemani suara gemericik air sungai disekitar sawah. Hmm..sungguh pemandangan yang sangat jarang ku temui. Sejenak aku merenung. Sawah seluas ini, di masa yang akan datang akan jadi apa ya?? Kalau melihat realitas pembangunan yang berorientasi pada fisik saat ini, aku ragu apakah nantinya daerah ini masih sebuah areal persawahan. Sawah yang sanggup memberikan penghidupan bagi para petani yang tidak hanya berasal dari daerah dekat sini. Sawah yang begitu menentramkan orang yang melihatnya. Sawah yang tentu saja berarti pula bagi para pemilik modal.

Sawah ibarat sebuah organisasi dimana akan muncul bibit-bibit berbakat dari dalamnya. Sawah sebagai wadahnya (organisasi), dan bibit-bibit padi sebagai individu-individu yang bernaung di dalamnya. Sawah beserta traktor atau kerbau, pak tani dan pupuk yang dimilikinya serta organisme yang hidup secara simbiosis merupakan sebuah kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Mereka bekerjasama setiap hari sepanjang musim demi menghasilkan padi yang berkualitas. Demi mempertahankan kelangsungan hidup, menjaga stabilitas ekologi dan juga demi menggerakkan perekonomian bangsa. Walaupun sawah mempunyai peranan yang begitu besar terhadap kehidupan individu maupun negara, ternyata tak mengusik niat para pemodal yang selalu menginginkan areal persawahan disulap menjadi sebuah “kota impian”.

Tak lama kemudian, Mas Among mengajak kami kembali ke Kedai Telapak. Sudah cukup, katanya, mengakhiri obrolan sore ini dengan memberi tanda untuk pulang. Canda tawa mewarnai perjalanan pulang kami, yang melewati jalan setapak yang berbeda dari yang kami lalui waktu berangkat tadi. Dalam perjalanan pulang itu, kami bertemu beberapa pemuda yang sedang bermain gitar. Turut menikmati sore hari yang cerah, seperti kami.

1 comment: