Dec 2, 2011

Nonton Film & Ngobrol Asik Film Patch Adam




  Kemarin pada tanggal 26 November 2011 di Kedai Telapak, Terang Sore mengadakan acara ‘Ngobrol Asik & Nonton Film Bareng’. Acara ini mengundang dua pembicara, yaitu Dr. Mambo (Kepala Rumah Sakit Banyumas & Dosen Fakultas Kedokteran Unsoed) dan Mas Dadan (salah satu dosen di jurusan Sosiologi Fisip Unsoed). Film yang kita puter berjudul ‘Patch Adam’. Tujuan kita mengambil film ini karena ingin memberi sedikit pencerahan bagi teman – teman semua (khususnya bagi kalian yang bergelut di bidang kedokteran dan obat – obatan) ketika sembuh dari penyakit itu tidak hanya bergantung pada obat yang harus dibeli dengan uang. Nah, bagi teman – teman yang tidak bisa hadir di acara kita kemarin, tenang aja. Kita akan memberi follow up nya di tulisan ini . Patch Adam, seorang lelaki yang berkarakter ‘lucu dan konyol’ ini, sangat hebat. Karena ia bisa melawan karakter pribadinya itu ketika orang yang ada di sekitarnya terlihat seperti seorang yang sudah tidak memiliki daya untuk hidup lagi. Sikap kritisnya terhadap birokrasi kedokteran pun telah menjadi suatu hal yang sangat mendidik bagi kita semua. “Di film Patch Adam, ada hal yang bisa diambil, ada sisi kemanusiaan yang harus diperhatikan. Ini bukan permasalahan Patch Adam orang yang sangat baik. Tapi itu bukti resistensi Patch Adam terhadap sistem”, ungkap Widanshah yang merupakan mahasiswa Fisip Unsoed Jurusan Politik ’08 ini, sewaktu ngobrol asiknya sedang berlangsung.















Suggesti yang diberikan oleh dokter ternyata membuat si pasien percaya terhadap omongan dokter tersebut. Ketika dokter menyarankan dan menyuruh pasien untuk minum obat, maka pasien tersebut akan mengikutinya karena pasien (masyarakat) itu percaya bahwa dokter adalah ‘sang penyembuh dari berbagai penyakit’. Namun, hal ini tidak diberikan oleh Patch Adam. Patch Adam justru memberikan lelucon terhadap pasiennya. Dia beranggapan bahwa pasien itu pasti akan senang dan akan melupakan penyakitnya ketika sudah dihibur.“Saya pernah baca di bukunya Ivan Illich. Ketergantungan masyarakat dengan dokter itu ada tiga, pertama tergantung dengan medic, kedua tergantung dengan dokter, dan ketiga tergantung dengan kultural. Lalu, kemarin saya ikut seminar. Yang saya tangkap dari seminar itu adalah ‘mengapa ada ketergantungan?’ Ada pengetahuan yang timpang. Kemudian dokter membatasi pengetahuan agar masyarakat tidak tahu apa-apa. Juga ada kampanye bahwa dunia dokter adalah yang paling oke buat obat. Padahal, proses pengobatan bukan sekedar medis, tapi juga dari mencintai dan memahami sesamanya. Bagi saya, semua orang itu adalah dokter”, ungkap Mas Dadan selaku dosen jurusan Sosiologi Fisip Unsoed.












































Orang yang sakit itu sudah cukup tersiksa dengan penyakitnya. Jangan tambahkan lagi siksaannya saat menjenguknya, dengan mengatakan, “bagaimana keadaanmu?”. Sebagai penjenguk, sebenarnya kita sudah bisa menilai sendiri dari keadaan yang terlihat. Kalau dia masih lemah, tergolek pasrah di tempat tidur, pastilah dia masih sakit. Dan pertanyaan itu pasti menambah derita psikologisnya. Karena tidak ingin mengecewakan orang yang sudah repot-repot datang menjenguknya, si sakit pasti akan berkata, “sudah agak baikkan kok” atau “sudah lebih baik kok”. Padahal bukan itu yang dia rasakan. Bukankah lebih baik, jika memberikan pernyataan, “keadaanmu sepertinya lebih baik”. Basa – basi yang lebih memberikan semangat positif, daripada menanyakan keadaannya itu seperti apa. Tanpa uang yang dipakai untuk membeli obat pun, penyakit itu dapat sembuh. Seseorang akan sembuh oleh lingkungannya sendiri. Artinya, sugesti bermain di dalam kesembuhan seseorang. Dan akhirnya obat dari sebuah penyakit itu adalah psikologi manusia itu sendiri.






No comments:

Post a Comment