Jul 1, 2012

‘DIA’ UNTUK PERSAINGAN

Oleh : Muammar Khadafi

Dari samping, ‘dia’ terlihat panjang. Dari depan, ‘dia’ terlihat lebar. Dan ketika mereka, para makhluk berakal itu sudah memasuki ‘dia’, keindahan serta kemegahanlah yang mereka dapatkan darinya. Kulit yang dipenuhi oleh alat pendingin (manusia sering menyebutnya dengan sebutan AC) di sekitar puing-puing tubuhnya, sudah menjadi ciri khas dan melekat pada jati diri ‘dia’. Jika manusia memiliki paru-paru, usus, hati, jantung, dan alat organ lain di dalam tubuhnya, ia hanya mempunyai pilar-pilar bangunan yang bisa ‘dia’ anggap sebagai kaki untuk membantunya berdiri. Dirinya yang sangat simple ini, ternyata membuat manusia tertarik terhadap bangunan tersebut. Daya tariknya itu tidak semata-mata karena bentuk dirinya saja, melainkan dari para pendukung yang menumpang dan menggunakan ‘dia’ untuk kepentingan ekonomi mereka. Kepentingan yang memaksa mereka untuk berkecimpung dalam dunia ‘persaingan’ agar kebutuhannya terpenuhi.


Hal yang paling mengerikan adalah hari kelahiran. Sedangkan hal yang paling menyenangkan, adalah hari kematian. Kata-kata yang sudah sering kita dengar itu ternyata memang benar. Hal-hal menggembirakan yang dilalui oleh manusia selama hidupnya, itu tidak sebanding dengan bahagianya hari kematian. Karena, ‘hari kematian’ merupakan sebuah hari dimana manusia tidak lagi dituntut untuk bertahan hidup. Aku saja sedih ketika melihat para wanita hamil berjalan mengelilingi organ bagian dalam tubuh bangunan tersebut. Wanita tersebut tidak tahu apa yang terjadi dengan bayinya nanti. Ketika sang bayi lahir, itulah saat dimana ia untuk pertama kalinya merasakan hal yang bisa dikatakan sebagai kutukan. Kutukan untuk menikmati dan merasakan hiruk–pikuk dunia agar bisa memenuhi kebutuhan hidup nantinya. Rasa nafsu dan akal yang diberikan kepada manusia, ternyata tidak membuat mereka menjadi makhluk berderajat paling tinggi. Perilaku-perilaku sosial yang tertanam dalam kehidupan mereka, hanya berorientasi pada “bagaimana caranya bertahan hidup”. Akhirnya orientasi tersebut membawa manusia kedalam sistem persaingan, agar bisa memenuhi kepuasan akan kebutuhan dalam hidup.
Sejarah telah menciptakan alat untuk proses jual beli. Alat tersebut kerap disapa ‘uang’. Aku bersyukur, karena uang telah membuatnya hidup di bumi ini. Namun, hal yang perlu disesalkan adalah persaingan semakin ‘menjadi-jadi’ ketika alat tersebut telah merambah ke dunia persaingan. Persaingan dimana manusia menjadikan diri mereka kurang lebih sebagai binatang yang survive demi kelangsungan hidup. Pasca munculnya globalisasi dan modernisasi, uang adalah satu-satunya alat untuk memuaskan keinginan manusia. Akhirnya, persaingan yang terjadi pada manusia hari ini sudah mencakup ranah ekonomi.
Persaingan ekonomi yang terjadi di seluruh Negara, ternyata memberikan dampak yang sangat negatif bagi kesehatan dan kesegaran bumi kita tercinta ini. Persaingan yang membawa mereka ke arah pembangunan gila – gilaan. Salah satunya, yaitu dengan membuat bangunan seperti ‘‘dia’’ di seluruh Negara yang ada di bumi. Menurut para makhluk berakal, ‘‘dia’’ adalah sumber dari terciptanya kebutuhan hidup mereka. Dengan meletakkan pedagang-pedagang yang diberikan ruang untuk mendirikan kiosnya masing–masing. Pedagang-pedagang tersebut menjual seluruh barang yang telah diciptakan oleh globalisasi dan modernisasi. Ternyata, sifat manusia yang tidak akan pernah puas, membawa mereka untuk membangun ‘‘dia’’. Hal tersebut bertujuan untuk menghasilkan banyak uang, terkait ‘dirinya’ adalah sumber hasil dari alat transfer tersebut. Akibatnya, hari ini ‘‘dia’’ sudah ada dimana-mana. Dampak yang diberikan adalah, menipisnya lapisan ozon dan membuat pelindung bumi tersebut tidak kuat lagi untuk menampung panasnya sinar matahari.
Pembuatan ‘‘dia’’ sudah melejit kedalam negara-negara berkembang, seperti Indonesia. Indonesia yang terkenal dengan Negara Agrarisnya dan memiliki pemandangan indah, kini sudah tidak lagi berlaku. Salah satu desa pencipta hasil pangan yang hari ini sudah hampir hancur adalah Purwokerto. Pembangunan gila-gilaan di desa ini, sekarang telah membuat statusnya tidak lagi desa, melainkan kota. Desa yang sudah menjadi kota ini, merupakan salah satu ‘kota pelajar’ di Pulau Jawa. Para pemilik modal di Negeri ini cukup cerdik dalam mempolitisi uang dalam aspek ekonomi. Mereka mengiming-imingkan ‘gaya hidup’, terkait para pelajar yang cenderung konsumtif dalam menghadapi sebuah barang atau jasa. Akhirnya disini terjadi pembodohan yang didasari oleh persaingan ekonomi.
Purwoketo, salah satu kota selanjutnya yang diinginkan para pemilik modal untuk membangun bagian dari ‘‘dia’’. Tepatnya di Jalan Slamet Riyadi No.70. Pemilik modal ingin mendirikan ‘‘dia’’ dengan konsep yang berbeda, yaitu dengan membuat dirinya menjadi ‘super dan hotel’. Dibalik konsep itu, para pemegang saham tersebut memberikan hal-hal persuasif dalam publikasinya, yaitu dengan nama “RITA SUPER MALL & HOTEL” melalui spanduk yang diletakkan di sekitar alun-alun Purwokerto, disamping toko Rita Bakery. Di dalam spanduk itu tertulis, menye’dia’kan entertainment centre, swimming pool, kids playground, f & b store, convention centre, 300 rooms hotel, ATM centre”. Aku pun bertanya-tanya kembali kepada para pemilik modal tersebut. Untuk apa ‘‘dia’’ yang diisikan dengan fasilitas-fasilitas tersebut didirikan di desa yang baru saja menjadi kota ini? Bukankah nantinya akan sangat berdampak buruk, baik dalam segi keseimbangan suhu di daerah ini, maupun budaya-budaya lokal di daerah ini?
Sunguh disayangkan memang, ketika nanti manusialah yang akan menghancurkan tempat tinggalnya sendiri. Hancur dalam aspek lingkungan dan budaya. Setelah membaca curhatan aku ini, apakah ada yang bisa menebak siapakah ‘‘dia’’? Dan bagaimana antisipasi agar aku tidak lagi dibangun secara gila-gilaan?
MARI BERCERMIN TERHADAP DIRI SENDIRI DAN LINGKUNGAN SEKITAR !!


No comments:

Post a Comment