Jun 23, 2012

Ke [tak] hadiran di Ruang Media*

Oleh: Among Prakosa

Di abad 20 kemarin media massa dielu-elukan sebagai salah satu pilar demokrasi. Melalui media massa, populi (baca: rakyat) dapat menyampaikan aspirasi, menerima informasi, dan melakukan kontrol pada pemerintah. Singkat kata, media massa memungkinkan kehadiran populi dalam praktek bernegara.

Namun cita-cita warisan abad pencerahan itu masih menjadi PR yang belum tuntas.  Hingga kini –terutama di negara-negara yang lahir paska PD II– sentimen rasial, primordialisme, serta idiologi patriarki warisan kolonial masih menjadi bayang-bayang di balik proses produksi berita. Salahsatu hasilnya adalah mekanisme swa-sensor narasumber: siapa yang boleh hadir dan siapa harus menyingkir dari teks media.

Belakangan, kebutuhan untuk menjaga jumlah tiras, pertumbuhan ekonomi dan gelembung kue iklan, ditambah penyatuan media-media ke dalam satu korporasi tunggal makin menebalkan tanya: apakah media hadir untuk kepentingan pembaca, atau semata untuk kebutuhan media itu sediri (hitung-hitungan dagang)?

Bagi bangsa yang mengamini demokrasi sebagai sistem politik resmi mereka, pertanyaan tentang kehadiran/ketiadaan komunitas masyarakat tertentu dalam teks media (baca: berita) adalah keniscayaan. Sebab teks media merupakan bentuk dari wacana, dan Wacana, adalah sesuatu yang memproduksi yang lain (gagasan, konsep, efek)[1]. Artinya, melalui wacana lah warga-negara, atau pembaca teks, memahami realitas di luar dirinya.



Juga karena keputusan dan kesadaran politis seorang warga-negara bergantung pada realitas yang ia pahami, maka kehadiran/ketiadaan suatu komunitas masyarakat dalam teks media mengisyaratkan sejauh mana kepedulian media tersebut dalam praktik demokrasi.

Jalur Sepeda Jl. dr.Angka


Mengenai kehadiran/ketiadaan suatu komunitas masyarakat dalam teks media, berita di Satelit Pos tentang jalur sepeda jalan dr.Angka dapat dijadikan analisis yang menarik. Sumber analisis merujuk pada berita di hari selasa (8/05) dan rabu (9/05)[2].

Di hari pertama (8/05), berita tantang jalur sepeda jalan dr.Angka muncul sebagai headline, ditemani satu News Analysis yang menampilkan pemikiran Kabid LLAJ Dinhubkominfo. Isu ini kembali muncul pada hari berikutnya di halaman Satelit Purwokerto.

Setidaknya ada dua alasan mengapa berita tersebut layak untuk dianalisa. Pertama, jalan raya, yang menjadi isu berita, merupakan fasilitas umum untuk seluruh komunitas masyarakat. Kedua, selama dua hari pemberitaan, tak sekali pun dikutip pendapat narasumber dari pihak pesepeda.

Dalam UU no 22 tahun 2009 tentang lalulintas dan angkutan jalan pasal 62, ditetapkan: (1) Pemerintah harus memberikan kemudahan berlalu lintas bagi pesepeda. (2) Pesepeda berhak atas fasilitas pendukung keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran dalam berlalu lintas. Artinya, pemerintah wajib menyediakan fasilitas, minimal jalur khusus untuk sepeda, kepada pesepeda.

Dengan demikian, upaya Dinhubkominfo untuk menyadiakan jalur khusus sepeda hendaknya mendapat acungan jempol. Sangat disayangkan ternyata di kedua berita, kecuali News Analysis, secara eksplisit lebih menonjolkan pontensi kerugian yang ditanggung pengusaha akibat kehilangan lahan parkir, daripada niat baik pemerintah, dalam hal ini Dinhubkominfo, menjalankan amanat UU.

Memang potensi kerugian dari pihak pengusaha, juga sikap pemerintah yang tidak melakukan sosialisasi kebijakan, sah-sah saja untuk diberitakan. Tapi, menakar dampak sosialnya, apa kepentingan bisnis pengusaha jauh lebih berarti dibanding kebutuhan pesepeda akan jalur khusus?

Jika mau berpikir lebih teliti, keberadaan jalur sepeda di kota Purwokerto dapat memberikan manfaat jangka panjang yang lebih besar. Seperti, antisipasi kemacetan di masa depan, dengan mengkampanyekan sepeda sebagai kendaraan alternatif.

Purwokerto juga dapat menjadi kota yang lebih ramah lingkungan jika ada lebih banyak orang yang mau bersepeda, dan salah satu cara untuk mengajak masyarakat bersepeda adalah dengan menyediakan fasilitas yang memadai.

Melalui analisis aktor, yaitu pihak-pihak yang tampil di panggung berita, narasumber yang dihadirkan dalam berita dua hari itu adalah –merujuk pada atribusi tertulis– dua orang pejabat pemerintah, seorang budayawan, dua orang pemilik usaha, seorang karyawan toko, satu pengguna jalan, dan satu orang anggota dewan. Dari kedelapan narasumber, tidak ditemukan satu pun keterangan yang menunjukkan apakah ada diantara mereka yang juga pesepeda aktif.

Secara isi, memang ada seorang narasumber yang menanggapi isu dengan netral, ia tidak keberatan dengan keberadaan jalur khusus sepeda di jalan dr.Angka. Namun lagi-lagi tidak ada keterangan apakah narasumber ini seorang pesepeda aktif atau tidak. Atribut yang disandingkan padanya adalah “pengguna jalan”.

Maka sulit bagi saya untuk tidak bertanya, mengapa dari berita yang terbit berturut-turut selama dua hari pendapat dari satu orang pun pesepeda tidak muncul? Padahal isu yang menjadi berita berhubungan langsung dengan kepentingan mereka. Apakah karena bersepeda kini hanya sekadar tren sesaat, hobi yang dilakukan di akhir pekan, sehingga tidak relevan untuk meminta pendapat dari pesepeda?

Lalu saya kembali bertanya. Kalau memang bersepeda hanya tren sesaat, kita sebut apa para komuter yang tinggal di pinggiran kota Purwokerto, yang sehari-hari masih mengandalkan sepeda sebagai tranportasi ke dan dari tempat kerja? Apakah para buruh bangunan, pekerja toko, pedagang sayur, penjual bubur –mereka yang kebanyakan bukan pegawai kantoran– bersepeda semata karena mengikuti tren?

Latar belakang para narasumber terpilih dalam berita jalur sepeda dr.Angka seakan menegaskan kembali apa yang disampaikan Dr. Deddy N. Hidayat 11 tahun lalu, bahwa, pers di tanah air bisa dengan mudah diisi oleh idiologi patriarki.  Di mana hanya pihak-pihak tertentu, umumnya elit pemerintahan dan kalangan intelektual, yang pantas untuk berpendapat mengenai isu-isu sosial. Sedang pendapat dari kelompok lain, mereka yang subordinat, dinilai tidak relevan untuk turut hadir.

***

Ketika pelebaran jalan memanjakan pemilik kendaraan bermotor berpacu lebih kencang, membahagiakan pengusaha dengan lahan parkir yang luas, pesepeda perlahan disingkirkan dari badan jalan. Jalur khusus yang diperuntukan untuk kendaraan bebas polusi ini “digugat” sebab mengancam kelangsungan usaha.

Pada akhirnya, keputusan untuk mengambil “potensi kerugian pengusaha” sebagai sudut berita, pemilihan narasumber, serta penyingkiran pengguna sepeda dari ruang berita “jalur sepeda jalan dr.Angka”, menciptakan konsepsi realitas berikut; Bahwa pengadaan jalur khusus untuk pesepeda di kota Purwokerto (akan) lebih banyak mendatangkan kerugian daripada manfaat.

Jika benar negara kita menganut paham demokrasi, dan media adalah pilar yang menopangnya, maka berita jalur sepeda jalan dr.Angka menunjukkan wajah demokrasi hari ini. Bahwa demokrasi hasil reformasi hanya berlangsung di tataran konseptual, namun asing dalam praktek keseharian. Demokrasi hanya tertulis dalam teks-teks politik, tidak pernah sampai turun ke jalan.

Mengingat laju pertumbuhan pengendara kendaraan bermotor yang berbanding terbalik dengan jumlah pesepeda aktif, saya pikir tak perlu kejeniusan khusus untuk menyimpulkan siapa yang minoritas di jalan dan bagaimana mereka diperlakukan. Tabik.[]

[1] Foucault, Discourse on Language, (1971; 1972)

[2] Hingga tulisan ini selesai, saya masih terus memantau berita Satelit Pos, berharap ada liputan baru terkait jalus sepeda di jalan dr.Angka yang membuktikan saya keliru. Bahwa Satelit Pos juga mengakomodir suara dari para pesepeda.

*Tulisan ini pernah dimuat di koran Satelit Post dan blog Meraya Ruang. Dimuat kembali di sini untuk kepentingan pedagogi.

No comments:

Post a Comment