Jul 2, 2012

Save Our Child

Oleh : Lia Kusuma Astuti


Anak-anak adalah harapan. Setidaknya hal itu terucap dari seorang tokoh pejuang kulit hitam Amerika, Malcolm X. Menurutnya masa depan sebuah bangsa berada di tangan anak-anak. Masuk akal memang, melihat realitas bahwa generasi penerus bermula dari anak-anak. Tidak hanya bagi orangtua, tapi juga lingkungan sekelilingnya. Karakter anak dapat terbentuk sesuai pendidikan yang diterimanya. Analoginya seperti selembar kertas putih yang belum tersentuh pena. Dalam hal ini, yang sangat mempengaruhi karakter seorang anak berasal dari lingkungan terdekatnya, yaitu keluarga dan sekolah.
Kehidupan anak-anak yang diidentikkan dengan dunia bermain, seolah membatasi dimensi dunia anak dengan dunia orang dewasa. Namun seiring perjalanan waktu, dunia anak seolah menghilang dari peradaban zaman. Permainan tradisional kini digantikan oleh era yang serba digital dan praktis. Begitu  pula dengan tontonan, music, dan bacaan anak-anak seperti menghilang dari bumi. Media visual maupun cetak tidak memberikan porsi yang seimbang bagi konsumen anak-anak dengan dewasa. Acara-acara televisi yang tidak edukatif serta music-musik melankolis milik penyanyi dewasa kini akrab dengan dunia keseharian anak. Maraknya sinetron televisi yang tayang pada jam-jam “prime time” membuat anak semakin betah nongkrongin televisi daripada belajar atau membaca.


Ironinya, acara-acara yang berkualitas atau setidaknya cukup edukatif justru ditayangkan pada
 jam “non-prime time”. Artinya ada ketidakseimbangan antara acara yang ditujukan untuk anak-anak dengan konsumsi orang dewasa. Contoh acara anak yang cukup mendidik misalnya, Edu tv yang ditayangkan oleh TVRI pada jam-jam sekolah jelas saja kehilangan penontonnya. Padahal konten acara yang disajikan sudah jelas mendidik karena berkaitan dengan ilmu pengetahuan. Selain itu, ada pula “Si Bolang” yang coba menghadirkan visualisasi dari dunia anak-anak yang masih dengan kepolosannya, dan permainan tradisional. Mestinya acara-acara televisi yang bergenre “edutainment” ini ditayangkan saat jam keluarga, dimana merupakan waktu berkumpulnya anak-anak dengan orangtua. Yang mana merupakan jam tayang acara sinetron yang sering ditayangkan oleh stasiun televisi swasta pada jam keluarga, yakni berkisar antara pukul 18.30 hingga 21.30 WIB. Coba bandingkan jumlah  penonton sinetron saat ini yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan acara-acara yang bergenre atau berkonsep edukasi. Hal ini disebabkan oleh penayangan acara edukasi yang tidak pada jam keluarga.
Minimnya penonton anak-anak pada acara televisi yang berbau “edukasi” menggambarkan rendahnya daya kritis orangtua terhadap tontonan yang berkualitas. Sebab peran penting orangtua dalam hal ini adalah sebagai pendamping anak saat menonton televisi. Orangtua mesti bisa membatasi tontonan anak dan memberikan bimbingan pada anak saat menonton televisi bersama. Artinya, orangtua perlu menjelaskan alasan-alasan ketika mereka tidak menghendaki sang anak menonton acara televisi tertentu. Karena beberapa acara tertentu sedikit banyak mempengaruhi mindset anak terhadap acara yang ditonton.[1] Penelitian serupa pernah pula dilakukan di Amerika. Dalam sebuah jurnal ilmiah, American Academy of Pediatrics (AAP) menyebutkan bahwa anak usia diatas dua tahun harus dibatasi menonton televisi hanya satu atau dua jam saja, dan yang ditonton adalah acara yang edukatif dan tidak menampilkan kekerasan.[2]
Selain peran orangtua, pemerintah pun turut berperan dalam mengontrol acara-acara yang disiarkan oleh televisi. Salah satu bentuk perhatian pemerintah terhadap dunia pertelevisian adalah dengan membentuk Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Kebijakan yang mendasari terbentuknya KPI ini adalah UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, yang kemudian dalam tubuh KPI sendiri pun membuat regulasi peraturan-peraturan yang semestinya dipatuhi oleh para pemilik media, dengan adanya Peraturan KPI No. 02 dan No. 03 Tahun 2009 tentang  Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran. Namun dalam prakteknya, para pemilik media banyak melakukan pelanggaran dalam program penyiaran acara televisi. Sayangnya, peran KPI dalam menyikapi dan menindak pelanggaran terhadap program penyiaran ini tidak terlalu signifikan. Artinya, masih banyak program yang tidak memenuhi standar penyiaran namun tetap lulus sensor dan ditayangkan. Selain itu, kebijakan mengenai jam tayang acara televisi pun tidak memihak kepada penonton anak-anak yang merupakan konsumen terbesar tayangan prime time. [1]
Lalu sebenarnya untuk apa KPI dibentuk apabila tidak berperan secara optimal dalam menindak pelanggaran yang dilakukan oleh korporasi media? Sedangkan fungsi utama KPI adalah untuk mengontrol program dan penyiaran acara televisi. Disinilah peran utama pemerintah dalam melindungi warga negaranya dari pengaruh-pengaruh buruk pihak luar. Namun, ibarat buah simalakama, ketika banyak program televisi memberikan pengaruh buruk terhadap masyarakat, terutama anak-anak justru tidak mendapat tanggapan kritis dari para orangtua. Kembali pada pernyataan Malcolm X diawal, karena anak-anak adalah harapan. Maka lindungilah anak-anak.





No comments:

Post a Comment