Nov 27, 2012

Tubuh Perempuan dalam Tayangan

Oleh: Laras Maharani

Baru setengah abad sejak kemunculan ilmu komunikasi sebagai bidang studi, praktek dalam bidang industri media telah berkembang dengan demikian pesat. Tak ada dari diri kita yang setiap harinya tidak berjumpa dengan media komunikasi. Sebut saja misalnya, surat kabar, majalah, radio, televisi, internet, atau penggunaan alat telekomunikasi seperti telepon, telepon seluler, dan atau penggunaan situs jejaring sosial seperti facebook, twitter, dan lainnya yang sejenis.

Di antara media komunikasi lainnya di Indonesia, televisi memiliki posisi yang berbeda. Keunggulan pada kandungan gambar gerak dan suara sekaligus memposisikan televisi, setidaknya hingga hari ini, sebagai pemangku peran penting dalam penyebaran arus informasi kepada khalayak. Dengan pengemasan tayangan yang menyasar segala kalangan, baik tua, muda, pria, wanita, anak-anak, menjadikan televisi sebagai media yang paling strategis dalam menyerap penonton.

Sejarah industri televisi Indonesia dimulai tahun 1962 ketika TVRI untuk pertama kalinya menyiarkan upacara kemerdekaan Indonesia ke-17 dari istana negara. Selang 27 tahun kemudian hadir RCTI (1989) yang menjadi siaran televisi swasta pertama. Jika jarak waktu yang dibutuhkan RCTI untuk lahir hampir tiga dekade, tidak bagi siaran televisi swasta yang muncul kemudian, seperti TPI (1991) yang kemudian berganti menjadi MNCTV, SCTV dan ANTV (1993), serta Indosiar (1995).

Pertumbuhan industri televisi semakin semarak paska pemerintahan Soeharto. Tidak terbatas pada televisi nasional seperti MetroTV (2000), TransTV (2001), GlobalTV dan TVOne (keduanya pada tahun 2002), siaran televisi daerah juga tumbuh subur, seperti di wilayah Jakarta (Jak-TV, O-Chanel dan Space-Toon), di Bandung (BandungTV, S-TV, Padjajaran TV, CT Chanel), Yogyakarta (JogjaTV, RBTV, dan AdiTV), Semarang (ProTV dan BorobudurTV), hingga Denpasar (BaliTV). Arus informasi pun turut mengalir deras, seakan seperti banjir ketika mengguyur seluruh Indonesia. Tak pelak, komunikasi, dan informasi, sebagai salah satu isinya telah menjadi suatu industri, telah menjadi suatu tumpuan hidup bagi banyak orang.

Berbicara televisi, pasti juga berbicara mengenai pemilik modal atau siapa yang berada di belakang layar. Sudah pasti kepentingan utama pemilik modal untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya yaitu dengan mengembangkan produknya melalui media televisi. Pihak kapitalis menyodorkan ‘surga dunia’ kepada pemirsanya dengan menyajikan imaji yang bersifat keindahan, instan, kecantikan, dan lain sebagainya. Dan kaum perempuan merupakan salah satu korban media massa dengan menampilkan kebutuhan-kebutuhan apa saja yang dibutuhkan kaum perempuan melalui iklan. Bahkan televisi mampu meningkatkan kebingungan perempuan.



Televisi selalu menyuguhkan sajian bagaimana perempuan seharusnya. Perempuan dikonstruksikan untuk hidup sesuai dengan kehendak dan penilaian masyarakat. Seperti halnya di salah satu contoh film korea berjudul 200 Pounds Beauty, film tersebut menceritakan bagaimana televisi kemudian memberikan tayangan-tayangan tentang seorang perempuan harus berperan, berposisi, dan berperilaku. Televisi mulai melakukan penilaian, mulai dari cara berdandan, berpenampilan, hingga norma-norma atau nilai-nilai yang wajib menjadi bagian dari tampilnya perempuan. Perempuan bertubuh pendek, pastilah ia ingin bertubuh tinggi. Jika ia bertubuh gemuk, pastilah ia ingin bertubuh kurus. Jika ia kurang indah tubuhnya, maka ia harus melakukan sedot lemak untuk pengurusan bentuk tubuh. Begitu seterusnya, dan inilah yang terjadi. Tubuh perempuan seolah dikendalikan oleh televisi dan bagaimana masyarakat laki-laki memandang dan mempersepsikannya.

Sebagai akibatnya, perempuan akhirnya diposisikan menjadi orang yang tak percaya diri dan bahkan mengalami krisis kepercayaan. Banyak perempuan yang terkecoh dengan media sampai akhirnya tidak menyukai tubuhnya sendiri dan memilih mengorbankan diri serta isi dompetnya untuk mempercantik diri di salon atau rumah kecantikan. Semakin ramainya pusat-pusat kecantikan di kota-kota besar maupun di lingkup kecil seperti Purwokerto menjadi bukti bahwa diciptakanlah solusi bagi perempuan dan ditawarkan pula mimpi-mimpi baru untuk menjadi perempuan idaman atau perempuan yang diinginkan masyarakat. Faktanya banyak perempuan malah senang dikelabui ‘surga dunia’ tersebut dan terus menerus mengkonsumsinya.

Bisa kita saksikan di setiap harinya, entah itu salon, toko baju, toko kecil menjual aksesoris, tokoh sepatu high heels dengan tinggi berbagai centi, selalu dipenuhi ‘korban-korban media’ yang mana didominasi oleh kaum perempuan. Jika sudah begini jadinya, sangat mudah bagi tuan-tuan pemilik modal di media untuk mengendalikan perempuan di media dengan membangun citra atau sosok perempuan yang diidamkan masyarakat. Lahirlah kemudian stereotype perempuan: menjadi perempuan baik-baik, istri yang sempurna, pendamping suami yang cantik, atau perempuan yang cantik, langsing, dan indah dipandang mata (baca: mata laki-laki). Karenanya sudah pasti juga akan tercipta struktur atau kondisi yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan di media.

Sampai di sini ada baiknya kita merujuk pada Germaine Greer, penulis, dan jurnalis literatur Inggris modern kelahiran Australia, yang secara luas dianggap sebagai salah satu penyuara feminisme paling signifikan pada abad ke-20. Dalam soal tubuh perempuan, menurutnya tubuh perempuan adalah arena pertempuran di mana perempuan berjuang untuk kebebasannya. Karena kenyataannya, masih menurut Germaine, melalui tubuh perempuan penindasan itu bekerja dan beroperasi. Mulai dengan mengekang, mengseksualisasi, mengorbankan hingga melumpuhkan perempuan. Tubuh perempuan pada dasarnya medium bagi orang lain untuk bekerja, dan pekerjaan perempuan sendiri adalah untuk berpikir, bertindak, dan berperilaku sesuai dengan norma-norma, nilai-nilai, dan aturan-aturan yang “berlaku” (hasil konstruksi sosial). Jika mereka gagal untuk menjalankan sesuai dengan norma dan aturan yang given tersebut, maka sudah pasti mereka akan dapat label buruk, bahkan dianggap berperilaku menyimpang.

Memang semakin jelas jika televisi, termasuk iklan di dalamnya, menjadi terlalu menggoda untuk tidak ditonton. Akibatnya bisa bermacam-macam dan sering terlihat apabila sebagian besar masyarakat pada umumnya kemudian mencoba mulai meniru pikiran dan perilaku idola mereka yang selalu hadir di televisi tanpa ada daya kritis atau menyaring terlebih dahulu apa-apa yang ditampilkan di televisi.
Jika kaitannya dengan perempuan maka sudah pasti yang tampil di televisi atau iklan selalu merujuk pada sosok perempuan cantik, sexy, genit, berpakaian ketat, dan lainnya yang sejenis. Mesti juga harus dicatat tidak selalu perempuan yang tampil di televisi seperti itu, karena kadang ada juga yang memang memiliki kualitas yang lain seperti intelektualitas dan kapasitasnya yang lebih menonjol. Tapi kita bicara dalam kecenderungan yang umum dan ini hampir merata di semua program televisi, mulai dari kuis hingga bincang-bincang politik yang serius. Semuanya, termasuk tubuh perempuan harus “layak jual” terhadap penontonnya dan ini sangat berhubungan dengan rating dan keuntungan ekonomi yang kemudian diraih oleh para pemilik televisi.

Apakah ada hubungan antara wajah cantik dan sexy perempuan dengan pendapatan iklan dan rating/share untuk pendapatan televisi? Memang kita butuh data untuk menjawabnya, tapi hanya dengan kasat mata atau penilaian yang common sense saja, kita sebetulnya sudah bisa menduga-duga akan ada hubungannya tersebut. Menurut Jurnal Perempuan yang sudah melakukan pengamatan sederhana tentang sosok perempuan yang direpresentasikan di televisi, ternyata ada dua tipe perempuan yang begitu mendominasi tampilan televisi-televisi kita yakni, perempuan yang cantik, seksi dan menarik, dan ini yang selalu menjadi ikon untuk sebuah media industri seperti televisi. Tipe ini sangat berkorelasi dengan rating dan keuntungan ekonomi yang mengikutinya karena dengan kebebasan media dalam memuat berbagai informasi atau gambar pose perempuan yang menantang, hal tersebut sesungguhnya mencerminkan bahwa kebebasan pers juga telah dimanfaatkan oleh sebagian pengelola media untuk mengeksploitasi perempuan menjadi bagian dari industrilisasi demi memenuhi hasrat libido masyarakat yang memuja ideologi pasar, yang pada gilirannya demi keuntungan kapital itu sendiri. Sebaliknya, tipe perempuan lainnya adalah perempuan korban yang juga menjadi obyek menarik untuk ditampilkan oleh televisi dan dikonsumsi oleh masyarakat. Wanita-wanita bertampang komersial yang kini banyak menghiasi media-media populer, sadar atau tidak sadar, justru telah “merelakan” dirinya menjadi bagian dari korban kekerasan simbolik. Karena bukankah mereka berpose sedemikian rupa di media juga untuk memenuhi kepentingan kapital media yang dikuasai oleh segelintir orang? Bahkan pose-pose yang sensual itu juga dibuat untuk memenuhi sensual pleasure kaum laki-laki.

Jika kita menyimak tayangan-tayangan sinetron di televisi, sekali lagi cukup dengan pengamatan common sense saja, kita bisa melihat juga stereotipe perempuan Indonesia. Di satu sisi, mereka adalah perempuan-perempuan dengan tampilan kejam, culas, iri hati, dan penuh nafsu keserakahan. Namun di sisi lain, perempuan-perempuan tersebut juga ditampilkan sebagai perempuan cantik dan baik hati layaknya ibu peri dari surga. Gambaran seperti yang kemudian direproduksi terus menerus dan pada gilirannya seolah-olah menjadi bagian gambaran nyata sehari-hari perempuan Indonesia.

Salah satu bentuk kekuasaan televisi terhadap perempuan yang paling terlihat kuat adalah tampilan “gaya hidup” yang “harus diikuti” kalangan perempuan jika mereka ingin dikatakan sebagai perempuan yang diharapkan masyarakat. Bagaimana perempuan harus berpikir, berpenampilan dan berperilaku, itu kira-kira pesan utamanya. Angela Mc Robbie, seorang profesor Komunikasi di Goldsmiths, University of London, dan juga dikenal sebagai pakar budaya pop (pop culture), menyatakan bahwa industri telah menjadikan perempuan sebagai obyek, dari baju yang ‘pantas dan layak’ dikenakan perempuan, hingga industri lain seperti sepatu, tas, aksesories, kalung, dan lainnya. Baju dan semua aksesorisnya memang merupakan isu yang dibawa industri untuk menjadikan perempuan sebagai korban dari sebuah peradaban industri modern. Secara psikologis, baju menggambarkan bagaimana citra seseorang, dan secara sosiologis, baju akan menunjukkan dari kalangan mana ia berasal. Tubuh adalah sebuah benda hidup yang selalu menjadi identitas seseorang. Makanya tidak terlalu mengherankan, jika televisi kemudian menjadikan tubuh perempuan sebagai komoditas yang layak jual. Ini artinya, di balik itu semua, televisi sesungguhnya tidak menampilkan kebutuhan perempuan, namun justru kebutuhan dari para pengiklan. Karenanya perempuan harus di setting dalam terminologi laki-laki dan kekuasaan, agar perempuan mendukung para pengusaha dan eksekutif laki-laki.

Contoh sukses dalam meruntuhkan mitos-mitos media adalah yang dilakukan Oprah Winfrey tetapi tentu perlu kecerdasan dan kegigihan yang luar biasa serta kerja keras institusi media, model perekrutan serta konten media yang diorganisir oleh Oprah, dan sejalan dengan majunya masyarakat perempuan Amerika. Oprah berhasil menggiring perempuan Amerika untuk memilih ‘media yang realistis, bukan media yang hanya menyajikan mitos’ melalui ucapannya di berbagai sosial media serta tindakan kongkrit yang selalu ia contohkan kepada kaum perempuan, seperti melaksanakan acara amal bagi negara-negara miskin atau terkena bencana dan masih banyak lagi kegiatan sosial yang didirikan Oprah. Tak segan-segan ia juga membagi cerita masa lalunya yang sangat sulit agar kaum perempuan di seluruh dunia mengerti bahwa mereka pantas mendapatkan yang terbaik, pantang menyerah, dan tetap sekuat baja meskipun bertubi masalah menghadang. Oprah telah menampilkan realitas-realitas itu dan sangat berhasil menjadikan industri media sebagai pembawa pesan kemanusiaan tanpa harus takut dengan masalah ekonomi.

Kesimpulan:
“Perempuan tidak hanya melihat diri mereka sebagaimana pria melihat mereka, tetapi didorong untuk menikmati seksualitas mereka melalui mata pria” – Janice Whinship.

Lalu pertanyaanku, kapankah kaum perempuan akan merdeka?

No comments:

Post a Comment