Nov 10, 2012

Negara Democrazy


Oleh : Lia Kusuma Astuti

Adakah diantara kita yang masih mengingat dengan baik bagaimana kabar kasus Lumpur Lapindo hari ini? Ya, nasib korban lumpur lapindo masih terkatung-katung hingga sekarang. Namun media massa lokal maupun nasional, masih menyelipkan sedikit kolom pemberitaan mengenai kabar terkini kasus Lumpur Lapindo. Setidaknya masih terdapat perhatian publik terhadap kasus ini.

Tragedi yang bermula pada tanggal 29 Mei 2006, tepat tiga hari pasca gempa yang mengguncang Yogyakarta, dianggap sebagai “bencana alam”. Status bencana nasional yang disandangkan pada kasus Lumpur Lapindo ini dikuatkan oleh putusan Sidang Pengadilan Surabaya: Tanggal 30 Maret 2010, No: 07/PRAPER/2010/PN.SBY, yang menolak gugatan Pra Peradilan atas putusan SP3 Polda Jatim, dengan konsekuensi hukum: SP3 tersebut menjadi kokoh atas putusan pengadilan tersebut, sehingga secara pidana, Lapindo Brantas, Inc., tidak bersalah. Padahal, menurut riset yang dilakukan oleh Walhi, semburan lumpur panas Lapindo disebabkan oleh kesalahan prosedur dalam proses pengeboran (human error).


Berbagai polemik yang menyertai kasus ini pun seakan tak pernah selesai. Mulai dari persoalan kemanusiaan, sosial, lingkungan hingga ekonomi yang mendera puluhan ribu korban, tak kunjung usai. Lambatnya penanganan yang dilakukan oleh PT. Lapindo Brantas yang bekerja sama dengan Pemerintah terhadap korban maupun semburan lumpur panas sendiri, membuat gerah berbagai pihak. Tak terhitung sudah aksi yang dilakukan oleh para korban lumpur untuk menuntut haknya.

Beberapa aksi besar-besaran yang pernah dilakukan oleh korban lumpur, salah satunya adalah dengan memboikot jalur-jalur utama dari dan menuju ke Surabaya. Ribuan korban lumpur yang tersebar di beberapa titik, memblokade total jalan raya, sehingga praktis melumpuhkan perekonomian lokal maupun nasional. Masih segar dalam ingatan saya, demonstrasi yang dilakukan oleh para korban ini bukan aksi pertama dan terakhir yang mereka lakukan. Saya sendiri pun, yang saat itu masih duduk di kelas 2 SMA, turut merasakan menjadi demonstran bersama bapak dan ibu saya. Berkali-kali aksi yang dilakukan oleh korban lumpur ini dikawal ketat oleh aparat keamanan. Mengantisipasi kericuhan, tetapi yang terjadi seringkali justru menimbulkan traumatik tersendiri pada korban lumpur.

Saya ingat, pada suatu hari ketika ibu saya ditunjuk oleh Koordinator Lapangan (Korlap) untuk mengurus transportasi dan konsumsi para korban lumpur yang hendak berdemo ke Jakarta. Rumah kontrakan yang kami huni, sering dilewati beberapa mobil berwarna hitam gelap dan motor yang ditumpangi oleh orang berdandan preman. Beberapa tetangga yang juga sesama korban lumpur mengatakan bahwa mobil yang sering melewati rumah kami itu adalah intel (satuan khusus kepolisian yang bertugas mengawasi seperti detektif). Hal-hal semacam itu menimbulkan ketakutan tersendiri bagi keluarga saya, khususnya saya dan ibu saya. Akibatnya, saya tidak pernah berani keluar atau bepergian tanpa ditemani. Rencana demonstrasi para warga korban lumpur yang hendak ke Jakarta tersebut akhirnya dibatalkan karena Pemerintah Daerah yang diwakili oleh Bupati Sidoarjo (Saat itu yang menjabat adalah Drs. Win Hendrarso) berjanji akan memenuhi tuntutan para korban dan membawa permasalahan tersebut ke tingkat DPR-RI.

Aksi demonstrasi terakhir yang saya alami adalah ketika saya menyempatkan untuk pulang pada bulan Mei lalu, terdapat Posko korban lumpur yang sengaja didirikan persis di depan gerbang Perumahan Kahuripan Nirwana Village (komplek pemukiman yang diperuntukkan bagi korban lumpur dan umum). Posko ini merupakan salah satu upaya korban lumpur dalam menuntut hak-nya yang belum terpenuhi, yakni persoalan mengenai sertifikat kepemilikan rumah dan tanah yang telah mereka tempati di perumahan tersebut. Posko yang telah didirikan selama dua pekan tersebut akhirnya dibongkar paksa oleh ratusan aparat kepolisian dari Polres Sidoarjo dan Brimob Polda Jatim dengan membawa serta anjing herder. Pembongkaran paksa yang dilakukan pada pukul 12.30 WIB tersebut jelas menimbulkan kericuhan. Pasalnya, pada jam-jam tersebut yang menjaga posko adalah mayoritas ibu-ibu dan anak-anak. Sehingga jelas, aksi yang dilakukan oleh aparat keamanan tersebut menimbulkan histeria dan trauma pada anak-anak yang berada di TKP. Saya mendapati traumatik pada salah satu anak tetangga saya yang berusia 3 tahun. Bocah lucu yang bernama Quinsha itu selalu berteriak ketakutan saat melihat segerombol orang atau mobil besar (sejenis truk, atau mobil box) yang lewat.

Aksi-aksi demonstrasi yang dilakukan oleh korban lumpur ini, semata-mata untuk mencuri perhatian publik akan penyelesaian kasus yang menimpa mereka. Sekaligus menuntut pemerintah untuk segera menuntaskan kewajiban negara kepada rakyat. Menurut saya pribadi, aksi demo yang berulang kali dilakukan oleh para korban lumpur ini sesungguhnya adalah karena tidak tersalurkannya aspirasi mereka terhadap permasalahan yang mereka hadapi.

Terjadi kebuntuan komunikasi politik antara korban dengan birokrat dan pihak PT. Lapindo Brantas yang merasa tidak bersalah atas “bencana” lumpur di Sidoarjo. Negeri yang digadang sebagai negara paling demokratis ini nyatanya tak mampu menampung aspirasi rakyatnya. Tidak berhenti sampai disitu, kewajiban negara untuk menjamin hak-hak warga negara pun belum terlaksana dengan baik. Hingga, jangan salahkan kami para korban apabila melakukan aksi-aksi demonstrasi karena hal tersebut semata-mata untuk menuntut hak-hak kami sebagai warga negara.

Konsep demokrasi yang memuat tentang pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat, dan untuk rakyat[1], secara ekspilisit mencita-citakan kehidupan bernegara yang demokratis untuk kesejahteraan rakyat. Namun kenyataan yang kita dapati hari ini masih jauh dari kata ‘sejahtera’.Apa yang bisa disebut sejahtera bila dengan mudahnya kita temukan anak-anak yang putus sekolah, kehidupan di bawah kolong jembatan di Ibukota sana, dan ratusan aksi demonstrasi rakyat yang menuntut hak-nya kepada negara. Dimana pemerintah? Jangan tanya jawabannya. Demokrasi yang mengamanahkan suara rakyat melalui wakil-wakilnya, nyatanya tetap tak mampu mengakomodir kepentingan rakyat. Demokrasi macam apa yang berlaku di negeri ini? Ketika seorang Hari Suwandhi, korban lumpur yang melakukan demo dengan berjalan kaki dari Porong ke Jakarta, “terbeli” idealismenya dalam memperjuangkan hak-nya sebagai korban lumpur. Cita-cita negara demokratis yang diserukan pada runtuhnya rezim ordebaru, tak serta merta merubah “budaya demokrasi” yang sudah terbangun selama 32 tahun. Kengerian akan nasib demokrasi ini berlanjut, saat pemilik anak perusahaan PT. Lapindo Brantas, Aburizal Bakrie di proklamirkan oleh Partai Golkar sebagai Calon Presiden dalam bursa Pemilu 2014. Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana nasib korban lumpur apabila “Ical” terpilih. Tidak ada jaminan nasib korban lumpur akan membaik. Persoalan yang mestinya selesai di tahun 2012 (sesuai instruksi presiden dan Keppres tahun 2007) ini saja belum ada titik terang.

Pergolakan yang terjadi di kalangan korban lumpur juga masih berlanjut.Rasanya, demokrasi tetap terasa cacat manakala wakil-wakil rakyat tidak menjalankan amanahnya. Lalu apa yang masih kita harapkan dari “demokrasi” ini? Saya teringat salah satu variety show berjudul “Democrazy: Republik BBM” yang pernah ditayangkan oleh salah satu televisi swasta. Konten-konten variety show tersebut mengulas tentang polemik yang dialami negeri ini, dengan menawarkan solusi yang cukup baik, misalnya menjerat para koruptor dengan hukuman seberat-beratnya. Saya rasa tepat rupanya negeri ini menyandang “gelar” negara “democrazy”. Yang dalam persepsi saya, benar-benar gila dalam aksi demo. Bolehkah saya menitipkan sedikit harap kepada para pemimpin negeri ini, untuk tetap menjamin hak-hak warga negara dan tidak mengabaikannya?

-----------------------------
Rujukan:

[1] “LAPINDO” Tragedi Kemanusiaan & Ekologi, WALHI (2008).
[2] Lumpur-Lapindo.blogspot.com, “Warga Korban Lumpur Blokade Jalur Alternatif”, 6 Juni 2008
TribunJogja.com, “Massa Korban Lumpur Blokade Jalan Raya Porong”, 26 September 2011 
[3] IndonesiaRayaNews.com, “Polisi Bubar Paksa Aksi Korban Lumpur Lapindo”, diakses pada 15 Mei 2012
  Harian Radar Sidoarjo, “Polisi Bubarkan Aksi Warga KNV”, hal 13, 16 Mei 2012
  Harian Surya, “Polisi Bubar Paksa Blokade di Perum KNV”, hal 12, 16 Mei 2012 
[4] Kamus Besar Bahasa Indonesia (1983:482)
[5] “Hari Suwandhi: Kisah Idealisme yang Terbeli”, Tempo.co, 27 Juli 2012 

No comments:

Post a Comment