Dec 10, 2011

Menulis untuk Membela Eksistensi

Oleh : Among Prakosa

Apa? apa yang kamu lakukan setelah membaca sekian banyak buku? Itu sebuah pertanyaan umum yang di sampaikan Suluh, salah satu teman di Jogja saat kami ngobrol di kontrakannya.

Dan esoknya, selepas Magrib saya bertemu dengan sejumput realita sosial yang terlalu sering saya abaikan. Di perempatan Condong Catur sepasang laki-perempuan duduk sebelah-menyebelah, berlindung di balik gerobak di dalam bayang tebal yang jatuh dari ruko dibelakangnya, menyamarkan keberadaan mereka di antara sorot lampu mobil pada simpang yang ramai. Yang perempuan duduk menjurus ke utara, menelengkan kepalanya ke bahu yang lelaki. Tak jauh dari tangan kirinya botol air mineral berdiri, hampir terisi penuh dengan cairan berwarna merah tua, mungkin teh. Yang lelaki melihat jauh ke depan ke arah jalan. Tak ada suara terdengar dari keduanya. Gerimis.

Sampai saya di seberang. Ada seorang anak laki-laki, mengenakan celana pendek, kaus berpotong lengan, tidak beralas kaki. Ia baru saja meninggalkan badan jalan, naik ke pulau beton tempat tiang bercat kuning terpancang. Lampu lalulintas menyala hijau, mulutnya menggumamkan kata yang tak terdengar oleh siapapun kecuali dirinya.

Di punggung, sesak  di dalam tas, tiga buah buku yang baru saja saya beli dari toko buku di selatan simpang ringroad Condong Catur. Total nilai ketiganya hampir 200 ribu. Perlahan terngiang sebait tanya Wiji Thukul,

“Apa guna banyak baca buku…?”



Tadi, apa yang berjajar di rak-rak toko buku? Begitu banyak buku yang mengajarkan, mengajak untuk menjadi kaya. Manajemen keuangan, cara berinvestasi, motivasi bisnis, dst..dst.. Minggu lalu seorang motivator menggugat di televisi, “Jangan membenci kekayaan, karena dengan kekayaan kita bisa membantu orang lain.”

Di jalan-jalan makin banyak mobil yang dikendarai anak muda, mahasiswa, pekerja, pengusaha. Mereka semua kaya, dan terus bertambah kaya. Analisis ekonomi nasional menyampaikan optimisme, meskipun kecil akan ada pertumbuhan, krisis ekonomi eropa tidak akan berdampak besar di Indonsia. Lampu hijau menyala, mobil terus melaju, kaca tetap tertutup, gelap. Hotel terisi penuh ketika liburan tiba. Dan di belakang semua itu kita merasa optimis karena yakin dengan kebenaran teori “trickledown effect”.

Sudah diputuskan, tahun depan akan dibeli beras milik Vietnam dan India. Produksi pertanian dalam negeri menurun, tudingan biang masalah diarahkan pada perubahan iklim. Sementaraa itu bibit dan pupuk menjadi bisnis perusahaan, Monsanto, Japfa, Charund Phokphan, IRR. Pegawai pertanian menjadi sales, menawarkan produk tertentu, dengan bahasa dan tutur kata orang terdidik. Sarjana.

Di media massa utama orang miskin hilang suaranya, mereka muncul sebagai perusuh, penghuni liar, pelaku kriminal. Chaos dan Disorder. Makanan berformalin, ayam tiren, penikaman, dan lain lain, dan lain lain.
Di media massa orang miskin menjadi objek, menjadi asing, menjadi entitas kehidupan yang lain. Yang membutuhkan pertolongan dan uluran tangan kaum dermawan (orang kaya). Di media massa orang tak perlu di dengar, mereka tak punya suara, tak punya pikiran, tak punya ide, tidak berpedidikan. Posisi mereka sebagai subjek hilang, tinggal objek yang butuh sedekah.

Terngiang sebait tanya Wiji Thukul,

“Apa guna banyak baca buku…?”

Siapa Menguasai Media, Menguasai Masyarakat
Apa pentingnya orang miskin di media? Apakah penting? Sangat penting. Karena lewat media wacana dan kesadaran orang di bentuk, pengetahuan manusia di bangun, apa yang baik, apa yang buruk, hal-hal penting dan tidak penting ditentukan oleh media. Dan media yang menggunakan kata tambahan “massa”  di belakangnya berarti memiliki jangkauan publik yang luas, dan yang mampu menjangkau publik secara luas berarti mampu memberi pengaruh yang luas pula. Karena itulah di dalam kajian (komunikasi) politik ungkapan “Siapa yang menguasai media akan menguasai masyarakat” adalah benar.

Mengapa orang miskin dihilangkan dari media? Ada dua tesis yang saya ajukan. Pertama, dengan “logika bisnis dan prediksi daya beli” para eksekutif di perusahaan media melihat orang miskin berada dalam katagori tidak-berdaya-beli, mereka bukan jenis masyarakat yang mampu mengkonsumsi produk yang diiklankan. Karena itu orang miskin yang tidak berdaya beli ini tidak perlu diakomodasi kepentingannya ke dalam program-program acara media. Logika bisnisnya adalah, jika ada program untuk orang miskin perusahaan akan merugi, karena tidak akan ada yang mau memasang iklan di program tersebut. Jika tidak ada iklan berarti tidak ada pendapatan, padahal untuk memproduksi suatu program diperlukan biaya. Ada biaya produksi tapi tidak ada pendapatan, sama dengan merugi, dan rugi itu jelek dalam bisnis. Jadi, kenapa tidak ada yang mau memasang iklan? Karena orang miskin tidak mampu membeli.

Sebaliknya, orang miskin dilihat sebagai jenis komoditas yang berdaya jual. Bagi pemirsa media yang berdaya-beli, kisah-kisah tentang orang miskin bisa menjadi tontonan yang “menarik”. Tontontan tentang kemiskinan membuat pemirsa berdaya beli merasa beruntung karena memiliki hidup yang lebih baik. Berita kriminalitas orang miskin menghasilkan keuntungan lain; ada pihak yang bisa disalahkan atas hidup yang buruk, setiap cerita keberhasilan membutuhkan tokoh kambing-hitam. Penderitaan orang miskin bisa menimbulkan iba di hati penonton berdaya-beli, rasa iba menimbulkan keinginan untuk berderma, untuk apa berderma? Untuk mendapatkan pahala dan masuk surga.

Karena itu program acara yang menampilkan orang miskin tetap ada, tapi bukan sebagai subjek, melainkan objek tontonan. Yang ditampilkan adalah hidup orang miskin yang susah dan menderita (posisi objek), alih-alih menampilkan ulasan tentang mengapa mereka miskin dan terus terjerat dalam kemiskinan (posisi subjek)
Dan acara seperti ini tak akan pernah hilang, hanya berganti baju, dari uang kaget menjadi tolong, dari bedah rumah menjadi bedah warung. Acara seperti ini adalah jenis yang menjual, penonton merasa terhibur, menikmati kesejahteraan mereka, dan mengganti saluran ketika datang jeda komersial. Jika engkau berpikir acara seperti itu adalah hal baik, engkau benar, benar-benar tak beda dengan pemilik media, pemirsa, dan sederet golongan mulia lainnya, golongan yang memiliki kesadaran religi, kesadaran CSR, kesadaran borjuis yang religius. Kesadaran egoistik yang menggilai surga dan keselamatan sendiri.

Tesis kedua tentang orang miskin yang hilang dari media massa. Kehadiran orang miskin (dalam media dan ruang-ruang sosial lainnya) adalah bukti dari kegagalan masyarakat. Pola pendekatan seperti ini dalam bentuk yang pertama ada pada masa Soeharto, orang miskin dihilangkan tidak hanya dari media tapi juga dari ruang kota. orang miskin dianggap sebagai borok. Becak ditenggelamkan di teluk Jakarta, gelandangan, pengemis dan pengemen diburu, gubuk liar dihancurkan – jadi ketika sekarang banyak orang mengatakan pemerintahan Soeharto baik, saya tidak ragu untuk mengatainya sebagai seorang borjuis.

Kini, 13 tahun setelah reformasi penghilangan orang miskin tak lagi dilakukan oleh rezim pemerintah, dengan pendekatan yang nyaris tidak terdeteksi, penghilangan orang miskin dilakukan oleh rezim korporasi keuangan, lembaga donor internasional. Untuk apa? Untuk menghilangkan bukti yang menunjukkan bahwa semua dolar yang mereka berikan, semua teori dan rencana pembangunan yang mereka lakukan, gagal membuahkan hasil yang dijanjikan; tidak ada kemakmuran untuk semua, yang ada hanya kemakmuran orang per orang, kelompok dan relasi dekat.  Orang miskin tinggal miskin, tetap bodoh dan hidup di balik gedung perkantoran, disembunyikan seperti aib.

Jika Orang Miskin Menguasai Media, Maka Orang Miskin akan Menguasai Masyarakat
Apakah saya memimpikan kudeta? Ya, saya sangat menginginkan kudeta. Setidaknya kudeta atas wacana kemiskinan.


Tidak seperti yang diandaikan ilmu pengetahuan positivis, bagi saya pengetahuan tidak pernah bebas nilai, dan sudah seharusnya tidak membebaskan diri dari tanggungjawab sosial (nilai). Seperti yang ditunjukkan Habermas, pada “tingkat” pengetahuan ketiga, pengetahuan praxis, tujuan dari pengetahuan sosial adalah emansipasi. Ini yang dimaksudkan dengan nilai.

Selama ini kemiskinan ditulis oleh orang-orang yang mapan secara ekonomi, golongan ber-uang yang mampu membayar biaya pendidikan. Hasilnya apa? Tulisan, kritik, berita, laporan, penelitian, semua yang dilakukan tentang orang miskin dan kemiskinan dituliskan dengan sudut pandang orang terdidik, dengan terus dipastikan agar sekali-kali jangan sampai mengganggu kepentingan kelasnya (di era ekonomi jasa sekarang yang terdidik adalah yang berpunya, yang mampu secara ekonomi). Dan sengaja atau tidak tulisan-tulisan itu masih memancarkan bias, bias pengetahuan – kalau tidak kedangkalan. Sebab bagaimana mungkin seseorang yang hidup di dalam rumah beton, bisa menuliskan probematika orang-orang yang tidur di becak tanpa ada bias?

***

Saya memimpikan orang miskin menguasai media. Mereka menyiarkan kisah hidupnya sendiri, berdasarkan pengalaman murni dan pribadi. Hanya dengan cara seperti itu mereka bisa menguasai wacana dan memperjuangkan  kepentingannya sendiri.

Selesai dengan menggantung, menantikan tindakan..
Jogjakarta 01 Desember 2011.

No comments:

Post a Comment