Dec 12, 2011

Renungan dari Api yang Membakar Kecewa | a tribute to Sondang Hutagalung

Oleh : Among Prakosa

Dia yang terbaring di sana tak lagi bicara.

Dia Sondang Hutagalung, mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Bung Karno angkatan 2007. Ketua Himpunan Advokasi Studi Marhaen Muda untuk Rakyat dan Bangsa Indonesia (Hammurabi). Pada hari Rabu (7/12) Sondang melakukan aksi martir di depan Istana Negara, Sondang membakar dirinya. Jaringan Kampus, aliansi mahasiswa yang menggelar doa bersama dan renungan di depan RSCM, yakin tindakan Sondang merupakan bentuk keprihatinan terhadap kondisi bangsa[1].

Dua hari setelah aksi martir Sondang, dalam peringatan Hari Antikorupsi di Masjid Agung Jawa Tengah Kota Semarang SBY mengatakan, penanganan kasus korupsi ada di wilayah hukum, jangan dicampuradukkan dengan motif politik[2].

Sementara itu, dalam kolom Politik-Ekonomi di harian Kompas, Budiarto Shambazy membandingkan aksi Sondang dengan Mohamed Bouazizi, pedagang buah dan sayur yang membakar diri di depan kantor gubernur setelah frustasi karena niatan untuk mengadu ke gubernur berujung pengusiran dirinya oleh polisi[3].

Bouazizi membakar dirinya 17 Desember 2010, hampir genap satu tahun dengan hari Sondang membakar diri. Aksi Bouzizi itu menyulut kemarahan rakyat Tunisia, demonstrasi protes kemudian mengusung isu yang lebih luas yaitu pengangguran dan korupsi, hasilnya Zine al-Abidine Ben Ali terjungkal dari kursi kepresidenan Tunisia. Tak butuh waktu lama untuk gerakan yang kemudian disebut dengan “Revolus Melati” itu melintasi batas negara Tunisia, memanfaatkan media jejaring sosial rakyat di negara afrika lainnya seperti Mesir dan Aljazair menggalang kekuatan untuk menumbangkan penguasa.

[Sondang Hutagalung akhirnya meninggal dengan luka bakar 97% di sekujur tubuh]

***

Bouazizi hanyalah seorang laki-laki drop out SMP yang mencoba bertahan dengan berjualan buah dan sayur. Malang baginya, penguasa yang genit menjaga keindahan kota, melalui apparatus polisi, berulang kali menyita gerobak dagangnya. Kali terakhir gerobaknya disita dan upayanya untuk mengadu ke gubernur malah berujung pengusiran, yang lagi-lagi dilakukan, oleh polisi. Bouazizi kecewa, frustasi, lalu membakar diri. Ia tidak pernah menyangka aksinya, yang ditulis Budiarto sebagai aksi konyol, membalikkan kekecawan rakyat menjadi kemarahan.

Jika aksi Bouazizi disebut sebagai ujung dari rasa frustasi, kecil kemungkinan alasan Sondang yang berpendidikan lebih tinggi dan mengeyam bangku kuliah melakukan aksi bakar diri juga dikarenakan rasa frustasi, sebab frustasi hanya mungkin lahir dari kebuntuan nalar. Untuk Sondang yang kerap bergabung dalam diskusi-diskusi di Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), probabilitas Sondang mengalami kebuntuan nalar sangat kecil. Untuk seseorang yang rajin mengikuti diskusi baik di kampus maupun di dalam kampus, berdemonstrasi dan memimpin Hammurabi tentunya memiliki nalar yang terlatih, gesit dan mampu keluar dari kebuntuan.

Lalu mengapa Sondang membakar diri? Jaringan Kampus melihat aksi martir yang dilakukan Sondang menunjukkan keyakinannya ..bahwa tempat tersebut merupakan sumber dari masalah bangsa[4].

Ya, tindakan Sondang bukan karena kebuntuan nalar, sebaliknya, nalar dan nurani Sondang menggiring dirinya untuk melakukan persembahan. Menjadi martir dan mengirim pesan agar mata para penguasa terbuka. Sondang juga hendak menggugat nalar-nalar bungkam lain, nalar kita sendiri, agar mau berteriak dan menuntut kembali amanat dari para pendiri negara ini yang ingin merdeka agar dapat…melindungi kehidupan bangsa dan segenap tumpah darah Indonesia.

Duduki lalu Tumbangkan

Kemungkinan apa yang tersisa kini untuk kita lakukan? Semoga sepenggal kutipan di bawah ini bisa menjadi pertimbangan.

Dalam satu tulisan di indoprogress.com, Iqra Anugrah, Kandidat Master ilmu politik di Universitas Ohio memberikan uraian yang bagus tentang gerakan Occupy Wall Street[5] (OWS). Iqra menulis,

Terinspirasi dari berbagai demonstrasi dan gerakan sebelumnya, seperti demonstrasi di Tahrir Square di Kairo, Mesir, demonstrasi buruh dan pekerja di Wisconsin, dan pendudukan di Spanyol dan Israel, OWS adalah sebuah inisiatif demokratis yang kreatif, di mana proses-proses politik yang deliberatif kembali dipraktekkan di level masyarakat atau orang biasa. Para pendemo, yang terdiri dari berbagai macam latar belakang dan bahkan afiliasi politik, mendiskusikan tuntutan dan agenda apa saja yang perlu diperjuangkan. Tak lupa, berbagai urusan teknis dalam proses ‘pendudukan,’ seperti sanitasi, makanan, tenda, tempat menginap, dan banyak hal lain juga dirundingkan secara demokratis, tanpa adanya figur pemimpin maupun struktur atau hierarkhi organisasi yang jelas.

Demokrasi a'la Amerika, yang kini dianut Indonesia, mulai diragukan oleh rakyat Amerika sendiri. Sampai hari ini mereka yang menamakan dirinya sebagai “We are the 99%” masih menduduki Wall Street dan aksi pendudukan terus meluas seperti yang diberitakan di situs Adbusters.org. Iqra juga menulis,

Berbagai intelektual progresif, seperti Slavoj Sizek, Cornel West, Naomi Klein, Judith Butler, dan Noam Chomsky juga ikut mendukung gerakan ini dan bahkan turun ke jalan, bergabung langsung bersama para demonstran untuk menyatakan solidaritas mereka.

Artinya, gerakan ini bukan hanya gerakan seporadis kelompok putus asa, pratek demokrasi deliberatif dan keterlibatan intelektual sekelas Slavoj Sizek dan Noam Chomsky dalam gerakan Occupy menunjukkan keprihatinan luas dari orang-orang yang berpengetahuan terhadap praktek ekonomi-politik di Amerika.

Siapa yang menyangka, di era Kapitalisme Lanjut ini gerakan massa bisa tumbuh tepat di jantung kapitalisme. Di Wall Street. Tempat kuasa uang berpusat dan para 1% mengendalikan ekonomi lebih dari separuh dunia.

Angin perubahan sedang bertiup kuat di utara dan timur. Jika kematian Mohamed Bouazizi bisa menyulut kemarahan rakyat Tunisia, menjungkalkan presiden Zine al-Abidine Ben Ali dan menyebarkan api amarah ke Mesir hingga Aljazair, apa yang akan kita, Indonesia, lakukan setelah Sondang Hutagalung pergi?

Apakah pengorbanan Sondang ini akan menjadi berita yang segera berlalu tanpa meninggalkan bekas apapun dalam ingatan kita, ataukah kita menjadikan semangat Sondang sebagai letupan untuk gelombang kemarahan yang lebih besar lagi?

Jika kita bukan bagian dari solusi, maka kita adalah masalah itu sendiri.

-----------------------

[1] Kompas, Sabtu 10 Desember 2011. Hal 1.

[2] Ibid.

[3] Ibid. Hal 15.

[4] Ibid.

[5] http://indoprogress.com/2011/10/31/dari-wall-street-hingga-court-street/

No comments:

Post a Comment